Sabtu, 12 Januari 2013

Survival - Pika


25 Desember 2012, Selasa Malam

Maksimal 20% BB
Aula Sekolahalam Bintaro. Cukup banyak orang di sana. Kebanyakan sedang memeriksa barang mereka, selebihnya makan dan ngobrol. Aku datang bersama Bu Tati. Kami pun mengambil jatah makanan, dan bergabung dengan yang lain. Rupanya tausiah bada magrib berlangsung setelah sholat Isya. Yang paling teringat adalah nasehat bahwa perjalanan naik gunung nanti, dilakukan dalam rangka ibadah. Niatkan untuk ibadah, tidak sekedar refreshing, atau seperti pendaki gunung pada umumnya : ingin ‘menaklukan’ alam. Jadi aku kembali meluruskan niatku.

Setelah itu ada penimbangan barang bawaan. Pak Gigih memanggil satu persatu nama kami. Barang yang dibawa maksimal 20% dari berat badan. Ku lihat reaksi teman-teman, semua melihat tas masing-masing. Besar dan tinggi. Aku sendiri heran, tasku termasuk ransel gunung ukuran paling kecil sepertinya. Menggembung juga sih, tapi di bagian luarnya tidak sampai ada barang lagi. Tentengan di tanganku yang lain adalah sleeping bag TNI, ringan. Ku pikir ini pastilah kurang dari 20%. 10 kg pun tidak sampai. Benar saja, begitu tasku ditimbang, pun dengan sleeping bag TNI-ku, lolos uji berat alhamdulillah. Tidak ada yang perlu dikurangi. Malah ada temanku becanda : nitip barangku dong Pik, katanya.

Beberapa temanku tidak percaya bawaanku hanya segitu. Mereka bertanya bagaimana bisa. Hm, sebelumnya memang sudah pernah kegiatan semacam ini. Aku juga tidak tahu bawaanku kok bisa hanya segini. Akhirnya jawaban yang terpikir olehku : cara melipat baju bisa jadi berpengaruh. Aku menggulung baju seperti melinting rokok. Semakin tipis gulungannya semakin baik. Lalu kususun berbaris, membentuk shaf sholat. Aku berpikir lagi. Sebenarnya prinsipnya : aku membayangkan dulu apa yang akan dilakukan di gunung sana. Aku akan berjalan naik gunung, dan rasanya enak kalau bisa nyaman selama mendaki. Tidak merepotkan diri sendiri apalagi orang lain. Aku pun beberapa kali sibuk menyortir perlengkapan yang benar-benar dibutuhkan.

Rabu dini hari, 26 Desember 2012.
Bersiap
Perpustakaan Sekolahalam Bintaro.Aku sudah terbangun pukul 1.30 WIB. Setelah tidur berjejer layaknya barak pengungsian, aku perlu bersiap. Mandi dan berganti baju. Ku coba gendong lagi tasku dan berjalan, agak berat tapi tidak sampai membuatku oleng. Semalam aku pun memutuskan untuk meninggalkan sleeping bag TNI-ku. Ukurannya yang besar itu membuatku berpikir dua kali. Aku melihat teman sekelompokku, mereka semua membawa matras. Aku pun bisa tidur dengan beralaskan jaket parasutku. Jadi tidak masalah. Ku tinggalkan sleeping bag-ku di perpustakaan.

Kami berjalan menuju gerbang depan setelah berkumpul di aula. Absen dan menentukan jatah angkot. Angkot rupanya. Tidak jadi naik tronton perginya. Belakangan, aku mendengar cerita, kalau trontonnya mendadak akan dipakai oleh komandan. Komandan mereka yang didahulukan. Berapapun kita bayar, apa seperti itu.  Agak sedikit kecewa. Salah satu keasikan dari kegiatan ini, ya, di perjalanannya, dengan naik tronton. Kapan lagi bisa naik tronton rame-rame.

Empat angkot sudah siap di lapangan parkir Sabin. Mikrolet jurusan Ciputat, warna biru telor asin, merek Daihatsu. Aku kebagian kelompok pertama. Angkotnya acak, dipilih saja. Akhirnya satu angkot menampung 12 orang, termasuk supir. Berhubung banyak ransel besar di tengah-tengah kami. Aku langsung mengincar posisi sudut dalam angkot, paling belakang. Dengan kaca mobil di sebelahku dan sandaran tangan, puas sudah jika nanti di perjalanan ingin tidur J.

Rabu pagi, masjid Universitas.
Transit
Angkot kami parkir di halaman masjid. Sudah masuk kota Bogor ternyata. Aku kira tempat tersebut terminal. Banyak bus-bus besar diparkir. Suasana ramai orang dan tukang jualan. Kami dapat kabar kalau salah satu angkot teman kami, meletus ban. Jadi setelah sholat Subuh, kami menunggu angkot yang lain. Cukup lama kami menunggu, sampai kami bisa makan cemilan dulu, berfoto, dan saling mengobrol. Bahkan sampai halaman masjid mendadak tidak terlalu ramai. Pedagang roti bakar pun kulihat pulang ke rumahnya, dagangannya ludes. Masjid ini jadi semacam transit bus, terutama saat waktu sholat subuh seperti tadi.

Sampai Cidahu - Panggilan Alam
Alhamdulillah, setelah perjalanan berliku-liku. Menanjak dan menurun. Jalanan hanya muat satu mobil. Kami sampai juga di sebuah lapangan. Di depan lapangan ada warung. Selebihnya terlihat pepohonan hijau dan teman-teman kami dari sekolahalam Depok – Bekasi. Mereka sedang berbaris, mendengarkan Pak Cahya berbicara. Kami dipersilakan langsung mengambil makanan. Hampir jam 9 pagi, artinya kami telat sekali. Rencana awal kami sampai pukul 6 dan sarapan bersama. Angkot kelompok lain bahkan baru datang setelah aku selesai makan. Mogok lagi. Ada juga yang sampai harus jalan kaki,angkotnya tidak kuat menanjak.

Paling tidak terlupakan saat aku mendapat panggilan alam, sesaat setelah turun angkot. Sempat ku sesali, tidak buang air kecil di masjid pemberhentian tadi. Jadi, aku bertanya pada panitia, dimana toilet. Ditunjukkanlah aku pada tempat yang ia sebut toilet. Di dekat spanduk acara. Dari jauh, aku mencari-cari yang ia maksudkan. Aku tidak melihat bangunan atau tulisan arah ‘kamar mandi/WC’. Dahiku masih tetap berkerut, tapi aku sambil berjalan menghampiri spanduk itu. Mungkin tertutup spanduk, pikirku.

Beberapa teman perempuan tampak berkumpul. Aku kira mereka sedang apa, begitu mendekat ternyata! Aku agak terkejut mendapati toilet itu hanyalah aliran sungai kecil berbatu-batu, pintunya dari karung goni yang disangkutkan, dan air mengalir dari pancuran bambu. Toilet itu beratap langit. Oke, rasanya aku sudah tahu gambaran toilet di gunung seperti ini sebelumnya. Tetapi dengan kondisi sedang datang bulan, aku meringis sendiri. Aku lihat lagi sekitar, di warung depan lapangan katanya tidak ada toilet. Sempat ingin menahan saja. Begitu giliranku, ya ampun, panggilan alam ini di ujung tanduk L.

Alhamdulillah lega. Asli perlu teknik mencari pijakan batu yang tepat, sekaligus perlu menyiapkan gayung dari botol mineral, tisu basah, dan antiseptik. Pengalaman tidak menyenangkan, aku tidak terbiasa, jadi lebih baik tidak usah minum banyak. Aku bersyukur selama ini memiliki toilet berpenutup dan air berlimpah.

Teman SaDe dan SaSi
Berkenalan dengan teman dari Sekolahalam Depok dan Bekasi. Sebenarnya rombongan kami juga memuat teman-teman Sekolahalam Karawang, hanya saja semuanya laki-laki. Setelah makan, Pak Cahya meminta kami berbaris sesuai kelompok. Aku masuk kelompok 1 dan berkenalan. Dari Sekolahalam Depok ada Bu Wini, Bu Yuni, dan Bu Ade. Bu Aliya dan Bu Eka dari Sekolahalam Bekasi. Teman satu sekolahku sendiri, Bu Saodah dan Bu Manda. Bu Nafta tidak ikut. Jadi kami berdelapan. Ketua kelompok telah ditunjuk, Bu Wini dan pendamping kelompok, Pak Masud. Ini pertama kalinya kami kegiatan bersama sekolahalam lain. Melihat sekeliling, ujung kelompok terakhir dihuni oleh para bapak. Masing-masing sekolahalam memakai seragam dengan warna berbeda. SaDe berseragam oranye ngejreng, sedangkan SaSi hijau lumut. Sabin coklat muda, seperti yang ku pakai. Senangnya teman baru bertambah.

Mulai trekking
Dalam barisan, kami mendengarkan arahan dari Pak Cahya. Beliau konsultan bidang outbound di beberapa sekolahalam. Pak Cahya menjelaskan mulai dari rute perjalanan yang akan kami tempuh, waktu perjalanan, sampai aturan-aturan selama di perjalanan. Istilah pencinta alamnya : trekking. Kami diharapkan menghabiskan waktu maksimal empat jam di jalan. Setiap kelompok tidak boleh mendahului kelompok lain, pun ketika kelompok tersebut beristirahat. Kelompok dibelakangnya harus menunggu. Kecuali jika butuh pengkondisian yang lama. Kami akan melewati tiga tempat pemberhentian : Bajuri, Helipad, dan Kawah Ratu. Waktu istirahat di tiap tempat tidak lama, maksimal 15 menit.

Kami pun diingatkan untuk mengerjakan tugas kelompok : observasi tanah dan air, tumbuhan, dan hewan. Hasil observasi dituliskan di buku panduan. Aku dan teman-teman Sabin kebagian observasi hewan di hutan nanti. Observasi hewan meliputi makanan, jejak kaki, sampai kotorannya. Dari ketiga pengamatan itu, diharapkan kami dapat mengetahui hewan apa saja yang hidup di hutan tersebut. Hal menarik lainnya, tugas memungut sampah. Satu kelompok membawa satu trash bag hitam besar. Sepanjang perjalanan, kami harus memunguti sampah yang terlihat. Kami memutuskan trash bag akan dibawa bergantian.

Ransel backpack kami ambil setelah aba-aba dari Pak Cahya. Setelah itu, sebagai kelompok pertama, kami diminta mulai berjalan. Pak Cahya memimpin di depan, pendamping kelompok tepat di belakang kami. Panitia membagikan satu lontong sebagai bekal tambahan. Aku pun berjalan mengikuti barisan. Belokan pertama, Pak Cahya kembali memeriksa barisan. Mendapati aku dan Bu Saodah yang menenteng jaket tebal, Pak Cahya minta kami masukkan saja jaket itu ke dalam tas. Tangan harus bebas selama trekking,kata beliau. Melihat ransel beliau, rapi dan simpel, kelihatan ringan. Akhirnya ku selipkan jaket tebal itu di bahuku. Sementara Bu Saodah menyumpalkannya di salah satu tali tas backpacknya. Bismillah, siap mendaki!

Belum sampai lima menit, jalanan yang kami lalui sudah menanjak. Jalan setapak hanya muat satu kelompok. Tangga berbatu dan tanah merah. Sesekali kami berhenti. Terutama setelah kami melewati tanjakan curam. Pak Cahya memanfaatkan jeda itu untuk memantau kelompok lain dengan handytalkie-nya. Aku sendiri mulai merasakan nafasku tidak teratur. Ku lihat beberapa teman sekelompok juga seperti itu. Wow, ini baru awal Pika, batinku. Aku melihat rok-celanaku yang sudah dipenitikan, untungnya. Selain barang bawaan dengan berat yang pas, pakaian trekking juga menentukan : yang memudahkan kita berjalan dan menyerap keringat. Pakaian lapangan terbaik adalah baju lengan panjang dan celana panjang. Alas kaki ideal adalah sepatu boot ringan.

Sepanjang jalan pepohonan dan batu. Iyalah, namanya hutan. Sebenarnya aku lebih banyak memerhatikan jalan setapak yang kulalui. Pohon dan batu terlihat sama saja. Setiap jalan seakan sama dan kami hanya berputar-putar saja. Saking fokusnya mata melihat ke bawah. Paling begitu ada riak air sungai, betapa bening airnya. Sesekali kami pun menyebrangi sungai kecil, menegelamkan kaki kami. Entah sudah berapa lama kami berjalan. Mendaki, menurun, datar. Lebih banyak mendaki. Posisi kelompok kami pun sudah tidak seperti awal. Ada yang tadinya berada di depan, tiba-tiba menjadi di paling belakang, dan sebaliknya.     

“Stop dulu Paak!”. Teman di belakangku berkata. Ia pun sedang melihat ke arah Bu Manda. Di sana ada Pak Masud, sedang meminta Bu Manda mengatur nafas. Bu Manda membungkuk, meletakkan tangannya pada lututnya. Dari posisiku, ia seakan sedang tertimpa tas backpack-nya sendiri. Rupanya ia kelelahan. Ini sudah yang keberapa kali. Jadi ku pikir, Pak Cahya akan meminta ia untuk tidak melanjutkan perjalanan. Kami hanya bisa berdiri melihat. Aku merasa lemas, pundak dan kaki pegal. Sambil memanfaatkan momen itu untuk duduk, kami pun berusaha membantu dengan kata-kata semangat.  Setelah meneguk air dan snack yang ia bawa, Bu Manda siap melanjutkan perjalanan. Tiba-tiba Pak Cahya memberi instruksi agar Bu Manda berada di barisan paling depan. Kami pun berjalan kembali.

Berapa jarak yang sudah ku tempuh. Tadinya aku tidak paham, ada teman sekelompokku yang meneriakkan “HM 15”. Sebuah patok bercat hijau. Ia teriakkan setiap kali bertemu dengan patok hijau. Rupanya itulah tanda jarak perjalanan yang telah kami tempuh. Satu HM sama dengan satu kilometer. Berarti setiap satu kilometer, patok itu tertancap. Dan artinya, kami telah berjalan selama 15 Km. Lalu HM 20, HM 25, HM 30 kami lewati. Ngomong-ngomong, sampai HM berapa ya kita sampai, batinku.

Langkah Pak Cahya tetap tegap di depan barisan. Kuperhatikan, beliau sering kali menunggu kami menyusulnya. Setiap kali aku menengadahkan kepala ke depan, sekedar mencari nafas baru, Pak Cahya tampak menghilang dari pandangan. Begitu kami sampai di tempat Pak Cahya berdiri, kami pun berhenti juga. Pak Cahya mengingatkan untuk mengatur nafas : balik kanan, ambil nafas, dan hembuskan. Temanku melakukan hal yang sama. Ada pula yang berposisi rukuk, atau langsung duduk berselonjor kaki. Belum sampai lima menit berhenti, Pak Cahya sudah meminta kami berdiri. Dan beliau pun kembali melesat, seperti berjalan di tengah jalan raya Bintaro.

Pak Cahya memandu kami juga dalam hal pengamatan tumbuhan dan hewan. Beliau kadang berhenti, agar kami dapat mendengarnya bercerita tentang satu tumbuhan yang ditemukannya. Beliau memungut sampah, mengopernya kepada kami. Selebihnya, beliau terus berjalan dan tidak banyak bicara. Nafasnya terlihat stabil, tidak ngos-ngosan seperti kami. Selain mensyukuri ranselku yang simpel, aku sangat mempercayai pengaruh energi positif dari Pak Cahya, mendorongku dan teman-temanku untuk terus berjalan. Sehari-hari, aku jarang olahraga, apalagi naik gunung. Ini seperti tebusan tunai untukku. Kalau lelah sudah menyerang, aku sibukkan dengan melihat sekitar, menghembuskan nafas, memikirkan hal yang indah atau lucu, sampai…bernyanyi. Tidak mudah memang, tapi tidak menyangka, ternyata aku bisa sejauh ini, alhamdulillah.

Tiba-tiba Bu Saodah membungkukkan badannya. Ku lihat memang langkahnya gontai dari tadi dan tampak ingin muntah. Bermaksud menyemangati, aku bilang ingat anak-anak PG dan TAKE – ekskul asuhannya. Belum sampai habis perkataanku, Bu Saodah benar-benar muntah. Kami pun berhenti. Bu Saodah minum dan meminta diambilkan tisu di dalam tasnya. Sambil mencari tisu, kulihat tas beliau penuh sekali. Akhirnya sleeping bagnya ku selendangkan di leher. Bu Saodah melanjutkan perjalanan.  

“2 HM lagi!”, ku dengar teman di depanku entah siapa, berteriak. Teriakkan pengharapan seperti oase di padang pasir. Kami akan sampai pada tempat peristirahatan pertama. Aku pun meneriakkan ulang untuk teman-teman di belakangku. Langkahku terasa ringan. Jalanan pun semakin datar. Setelah melewati sungai kecil dan tangga berbatu, kami pun tiba di Bajuri.

Bajuri
Plang ‘Bajuri’ tertera di sana. Sebuah lapangan kecil berumput, tapi lebih banyak tertutup lumpur. Pak Cahya bilang bajuri itu pertigaan. Pertigaan bajuri. Langsung teringat teman satu sekolah bernama Pak Bazuri. Terpikir untuk bertanya padanya nanti, apa benar arti nama beliau juga pertigaan. Kami duduk di sana, berkelompok. Satu persatu kelompok lain mulai berdatangan. Setiap kali ada orang yang muncul, tepuk tangan sampai riuhan, terdengar. Setiap kali itu pula, orang yang diriuhi, menyunggingkan senyum atau tertawa. Ya, kepuasan telah menyelesaikan perjalanan. Setidaknya mereka berhasil sampai di tempat ini.

Senang sekali bisa duduk, berselonjor kaki, dan bersender pada ransel. Makan bekalku sambil menatap langit. Pesan Pak Cahya di awal, makan secukupnya saja. Makin banyak yang dimakan, makin kenyang, maka akan semakin berat berjalan. Aku pun tidak ingin bertoilet langit lagi. Jadilah ku makan coklat Coki-coki, dan sedikit rambutan dari teman sebelah. Energiku terisi kembali. Lima belas menit kami beristirahat. Kami kelompok pertama yang sampai jadi istirahatnya lebih lama. Melihat Pak Cahya sudah memberi aba-aba untuk berbaris, kami bersiap jalan. Pak Cahya mengingatkan agar berjalan sesuai urutan kelompok, tidak saling mendahului. Barisan kelompok ibu-ibu, didahulukan. Target tempat istirahat kami yang kedua : Helipad.

Helipad

Kawah Ratu

HM 65, Akhirnya!

Malam yang Panjang

Alhamdulillah We Are Survive!

Menurun Gunung

Syal Merah

2 komentar:

  1. Ooh...msh bu pika, belum nambah lg ni dr yg lain....

    BalasHapus
  2. Mana nich dari Pak Dahlan? Sang pujangga kataa????hahaaa

    BalasHapus