Rabu, 06 Februari 2013

Survival - Eka


Narasi Survival…

Sudah jauh – jauh hari informasi tentang survival disampaikan baik di forum rapat maupun antar guru. Maka tak kalah sibuk dengan menggali data kayak apa sich survival? Yang di hutan, makan cacing, tidur tanpa atap.. hoho.. ini namanya sudah dig anti Tracking survival.
Berdasarkan informasi mensugesti peserta supaya tidak down semangatnya. Memang rata – rata yang ikut adalah perdana naik gunung. Kondisi seperti ini mendorong persiapan fisik dan perlengkapan. Mental otomatis harus disiapkan.
Dua bulan menyiapkan untuk beli ini dan itu. Perlengkapan yang safety berbanding lurus dengan harga. Solusi satu satunya hanya dengan menyicil beberapa perlengkapan. Sehari sebelum berangkat saya masih belum ada sepatu. Entahlah, waktu itu saya merasa yakin dengan “Nggak papa pake sandal”.
Saya siapakan perlengkapan yang saya bawa. Sebelum packing saya koordinasi dengan sekolahalam Bintaro, SA Bekasi, dan SA Depok untuk fiksasi perlengkapan kelompok. Barang yang kami bawa cukup berat, meski pada sesi pelatihan terdahulu memang sudah disampaikan bahwa beban maksimal duapuluh persen dari berat badan.
Saya keluar dari rumah berjalan menuju sekolah sudah ngos ngosan. Tas tidak terlalu besar, packing sudah nyaman, bantalan tali tas yang empuk membuat nyaman di pundak. Semua berdasarkan petunjuk barang yang tidak dipakai dengan segera di letakkan di bawah,  meletakkan barang – barang yang ringan terlebih dahulu baru barang yang lebih berat.
Kondisi hujan ketika saya berangkat. Saya bersama kawan saya sempat berbincang dan berharap tidak hujan. Kenapa? Tidak hujan saja sudah berat apalagi hujan? ini melanggar aturan berdoa hehe seperti tidak bersyukur dengan ketentuan Alla dan mulut kami mengalir berucap “ Ya Allah jangan hujan”.
Taujih ruhani sebelum berangkat survival membantu memotivasi. Pada intinya jika dilakukan hanya karena mengguggurkan kewajiban pasti terasa sangat berat, namun jika dilakukan karena Allah maka akan menjadi mudah.
Sesi berikutnya saya menimbang barang bawaan saya, sesuai dengan ketentuan barang yang dibawa tidak boleh lebih dari 20 persen berat badan. Tas saya naik ke timbangan dengan berat 10 kg. buat saya ini kelebihan 2 Kg.  Idealnya  saya hanya membawa maksimal 8 Kg.
Pensortiran dimulai, sleeping bag, baju ganti dan  beberapa snack saya tinggal. Berkurang 1,5 Kg. Lumayan. Beberapa orang guru mengusulkan supaya termos saya ditinggal. Hiks saya tidak sepakat, mengingat saya harus sedia minum hangat di daerah dingin.
Pukul 02.00 kami bangun dan persiapan untuk berangkat. Bukan naik tronton tetapi angkot. Angkot biru Kebayoran –Ciputat. Sebelum berangkat kami diajak muter muter cari bensin. Dan ketemulah di sector  2 Bintaro. Dari pukul 03.00 lebih (*lupa) keluar dari sekolah sudah hampir 30 menit muter cari bensin. Sabaaaaar
Perjalanan berhenti di masjid kampus Djuanda. Kami sholat subuh berjamaah. Tidak lama ada kabar bahwa mobil yang ditumpangi kelompok 3 bannya kempes jadi harus menunggu. Boleh dibilang waktu itu waktu istirahat. Kalau mau bisa juga sarapan di depan masjid.
Mobil yang bannya kempes menyusul ke masjid Djuanda, dan sudah diperbaiki sehingga bisa dinaiki tapi tidak banyak penumpang. Saya pindah dari mobil  menumpang di mobil yang bannya kemps. Sepanjang perjalanan Alhamdulillah aman, sempat berhenti sebentar untuk isi angin dan bisa melanjutkan perjalanan selanjutnya
Di lokasi keberangkatan Sekolahalam Bintaro paling telat, sarapan sudah disediakan oleh panitia sehingga ketika sudah sampai bisa makan. Tidak lama setelah sarapan setiap peserta sudah bergabung dalam kelompok dan siap survival tracking.
Saya hanya berbekal “BISA” dan perasaan Yakin kuat tidak akan terjadi apa – apa. Khawatir saya hanya ketika saya sesak karena faktor dingin. Alhamdulillah dengan jalan kan bergerak… dingin itu pun tidak menjadi kendala yang berarti.
Pendamping kelompok saya baik, menunjukkan beberapa tumbuhan yang bisa di makan, teman – teman yang super kompak dengan “Allahuakbar!” mantap dech takbirnya.Sepanjang perjalanan saya sambil memakan tumbuhan dan buah yang bisa dimakan.
Subhaanallah sesampainya di kawah ratu… buat saya “this is the first time I see “ indah banget. Teman sekelompok kami ada yang merasakan pusing mungkin efekk bau gas belerang. Papan besar bertuliskan” DILARANG JONGKOK.
Seharian kami menyusuri jalan setapak. Terlintas ini jalan air apa jalan manusia ya.. Never Mind tetap menyenangkan. Sumber air yang bersih dan buah yang segar langsung petik sendiri menjadi kepuasan tersendiri…Subhaanallah.
Malam hari kami semua beristirahat dengan mendirikan bifak dari jas hujan. Alhamdulillah masih diperbolehkan membawa jaket. Panitia masih baik membekali kami dengan singkong. Kami makan singkong  hehe..
Saya dan teman – teman sekelompok berbagi tugas ada yang mendirikan tenda ada pula yang memasak. Tepat sebelum magrib kami semua kegiatan sudah selesai. Tenda yang nyaman untuk istirahat sementara. Inilah nikmatnya perjalanan, kami satu kelompok dari 3 sekolah yang sebelumnya belum kenal menjadi semakin akrab.
Sholat dijamak, makan sudah selesai, saatnya istirahat. Pembagian shift jaga berjalan baik di awal, hanya saja ada satu dari kelompok kami yang kedinginan. Kami merasa khawatir kalau beliau tidak kuat, akhirnya kami melakukan aktivitas yang membuat beliau tidak kedinginan.
Ternyata kami satu tenda salah posisi tidur, salahnya adalah mengikuti arus udara /angin. Setelah berubah posisi kami semua bisa tertidur (ada yang lama ada yang sebentar). Malam terlewati pagan datang, saatnya bongkar tenda dan sarapan. Hari ini sarapan dengan singkong istimewa pake gula..hehe..ada gula…
Rasanya memang lebih enak..(jiaaahhehehe). Dan kami pun melanjutkan perjalanan. Sampai ke lokasi penutupan. Subhaanallah dahsyat perjalanan ini.
Penutupan diawali dari kejujuran. Jujur membawa dan memakan jenis makanan selain yang diberikan panitia. Saya termasuk ikut..kan makan singkong special gula. Pembelajaran keteladanan.
Perjalanan sembari konservasi..HEBAT
“JIKA ORANG LAIN MENJAGA ALAM TANPA MENYEBUT NAMA ALLAH SAJA MEMBERIKAN DAMPAK YANG LUAR BIASA, APALAGI KITA SEBAGAI MUSLIM MENGAWALI DAN MELAKUKAN DENGAN DINIATI IBADAH PASTI HASILNYA LEBIH DAHSYAT LAGI”

Rabu, 30 Januari 2013

Antara Cinta dan Ajal, Keduanya Nikmat


Aku tak mengerti apa itu cinta
Meski lisan telah beku mengungkapkan dan tinta telah kering menuliskan
Yang kutahu cinta itu indah dan menyilaukan pandangan
Menebarkan kesempurnaan kebaikan diruang jiwa

Sudah kuungkapkan cinta dengan semampunya
Namun tetap saja tak sempurna, cacat, laksana benda setengah jadi
Oh Allah, Sadarkan hamba bahwa tiada sempurna dunia tanpa cinta
Dan Hanya Roob-kulah yang sempurna dengan kelengkapan sifatnya

Telah tersirat Cinta Rasulullah dengan Perempuan Sholeha "Siti Khadijah"
Cinta yang tak lekang dimakan usia
Cinta yang bertunas cinta, kemudian dari tangkainya berbuah cinta
Ungkapan sederhana ini yang mungkin bisa kutuliskann

Jika Cinta itu samudra biru dunia, yang tak akan selesai bila di arungi
Maka Ajal-lah sebagai dermaga yang Indah sebagai pemberhentian
Langitrnya Merah dikala senja, Anginya menenangkan jiwa yang gelisah
Membuka belenggu-belenggu kerisauan

Ajal, Bukan akhir perjalanan
Hanya sebuah pemberhentian
Keindahan yang sulit dipahami akal bagi jiwa yang tak beriman
Ajal berarti pertemuan dengan sang maha indah

Cinta dan Ajal Keduanya kenikmatan yang sukar dipahami akal
Hanya hati dan Iman yang pasti mengerti..

Rintihan dalam Kebun Hati


"Langit Mendung,, Pertanda akan turun hujan"
Apakah selamanya seperti itu?
Hati kami terasa Mendung.. Diselimuti awan pekat
tapi kesegaran tak datang menyirami

      Pelangi.. pastilah timbul, bila langit cerah kembali
      Tapi tak sama dengan jiwa kami
      jiwa yg selalu dihimpit, dihantui, banyak macam ketakutan
      takut akan kehilangan, kehilangan yang sejatinya bukan milik kami

Hujan membawa kesuburan..
hujan pula tak jarang membuat kebanjiran..
kebanjiran bagi kami, pemilik tangan-tangan kotor ini
tangan yang membawa kerusakan bagi bumi

      kata orang... hati ibarat kebun yang subur..
      Ya tentu saja.. bila kebaikan yang kita tanam,, pastilah kebaikan yang kita tuai
      Namun kebanyakan dari kita senang membudidayakan keburukan..
      Lalu tumbuh suburlah kerusakan yang kita semai..
      jangan menyesal.. bila yang kita lihat dihamparan kebun hati hanya  keburukan yang bakal kita tuai

Tentulah,, seburuknya budi.. masih ada pekerti
cobalah ketuk hati kecil ini
dan berkata "Wahai hati.. apakah kau dicipta untuk menodai kebaikan yang Tuhan ciptakan?i"
maka hati pasti menjawab "Tutup mulutmu.. Tuhanku menciptakan Aku hanya untuk kebaikan & kebenaran.. Pergi tanya pada Hawa nafsumu"

     Pantaslah kita menangis..
     menangis atas kerusakan & dosa yang kita perbuat,,
     Bermuunajatlah sepantasnya, berbicalah selayaknya pada sang Khaliq..
     Sang pemilik semesta sang pemilik hati..

Hanya Taubat yang dapat menjadi obat
Obat kerusakan bagi hati & negeri..
Lihatlah Langit mendung...
Pasti cerah kembali...


Survival


Survival
Hari Budiman

Tanpa makanan, berburu, memancing, tunas tumbuhan, air sungai, kedinginan, kepanasan, kelaparan dan kehausan. Itulah yang pertamakali muncul diatas kepalaku, berputar-putar hingga pecah satu persatu bagaikan gelembung sabun. Sepertinya luar biasa jika dapat bertahan dan lolos dari kematian dalam keadaan seperti ini, tapi perasaan itu tiba-tiba berhenti begitu saja.Karena untuk melakukan kegiatan ini dibutuhkan lumayan banyak barang dengan harga yang lumayan pula, satu bulan untuk persiapan,  dan apa yang telah aku siapkan?

Inilah masalah pertamaku, aku tidak punya barang-barang untuk kegiatan ini,tapi tenang ini bukan masalah besar. Akhirnya hari yang ditunggupun tiba, selasa sore sesuai dengan instruksi panitia survival bapak Asmuni Marzuki yang juga sekaligus kepala Sekolahalam Bintaro aku dan teman-teman guru SaBin berkumpul diSaBin untuk menginap dan mendengarkan taujih sekaligus untuk persiapan berangkat ke Cidahu. Dalam rencana  sebelumnya keberangkatan akan dibagi menjadi dua tim dengan mengendarai dua unit mobil tronton milik pasukan kopasus, namun hal ini tidak menjadi kenyataan, karena dengan sepihak pihak kopasus memutuskan untuk membatalkan peminjaman mobil. Pukul 03.00 pagi setiap peserta yang terdiri dari guru sekolah alam telah bangun dan kebali mengecek barang-barang yang akan dibawa, hanya aku dan beberapa teman yang mengetahui bahwa keberangkatan pagi ini tidak jadi dengan mengendari teronton milik kopasus.

Mobil jemputan akhirnya datang juga, 4 unit angkot telah disiapkan di area parkir SaBin, dengan ekspresi khas yang muncul dari raut muka guru-guru yang masih diselimuti rasa kantuk yang berat terlihat rasa terkejut ”looohhhh… angkooot?” serentak guru-guru berkata. Tapi Show must go on, tidak ada pilihan lain kecuali naik dan duduk yang manis. 

Ternyata perjalanan tidak semulus body mobil angkot baru jurusan ciputat-kebayoran ini. Ketika jalanan hotmix khas jalur pegunung disusuri mobil mengeram keras dan mengeluarkan bau gosong dari mesin. Akhirnya diputuskan pendakian menggunakan kaki masing-masing, rasa lelah masih menggelayuti sekujur badan dan kantuk menggelayut diatas kelopak mata, sambil berjalan menyusur jalur hutan dipimpin oleh Pak Hafid. Cukup lama berjalan kaki ditengah rerimbunnya pepohonan gunung sayup-sayup terdengar suara teriakan ramai orang, akhirnya….
Tiba juga di camp pendakian SURVIVAL  SaDe, SaBin, SaSi dan Sekolah Alam Karawang. Akhirnya makan juga walau dengan hanya nasi uduk yang mendingin akibat udara khas gunung. Belum selesai makan dan tidak sempat menikmati  sarapan perjalanan segera dimulai, rasanya ingin teriak sekerasnya “aaarrrrrrrgggggggghhhhhhhhhh……” . Perjalananpun dimulai dengan pembagian kelompok menjadi 10 kelompok, dan aku termasuk dalam kelompo ke-8 dengan beranggotakan SaBin: Hari, Arif, Irwan Sade: 3 orang,  SaSi: 1 orang dan Sekolah Alam Karawang 3 orang. Dan tim kami adaalh tim serba “TER” yaitu pertama TER-kuat dan TER-cepat karena dapat melewati beberapa kelompok, kedua TER-heboh karena dalam kelompok ini ada orang-orang “lebay” jangan sebutkan merk, katakan saja mereka daari SaDe, ups..keceplosan, ketiga TER-cecer Karena datang paling terakhir dicamp survival, kenapa??? alasan pertama penunjuk jalan yang sesat, kedua karena rasa solidaritas yang  tinggi dari setiap anggota, kita rela menunggu kelompok ibu-ibu yang salah satu anggotanya terserang kram dikaki.
Langitpun semakin gelap diselimuti awan mendung, tapi perjalanan tidak boleh berhenti, langkah terus terayun walau dengan tenaga sisa, tapi rasa lelah dapat kami atasi dengan mudah, karena perjalan diisi dengan hal-hal yang menyenangkan yang mengundang tawa. Akhirnya tiba juga dicamp survival di tengah hari yang gelap,  namun tugas belum selesai masih ada tugas yang harus dikerjakan membangun bivak dan melewati malam yang panjang. Hanya berbekal beberapa singkong untuk makan malam, paravin dinyalakan sambil menunggu singkong matang kami beristirahat sambil bercengkrama.
Dinginnya pagi memaksa kami untuk bangkit dari tidur yang kurang nikmat dimalam yang panjang ini. Sesosok gelap datang dari balik pepohonan, ternyata hanya tim panitia dari survival, seorang photographer sesa’at mengabadikan bebera momen dan pergi, sesaat kemudian datang lagi seorang panitia dan dengan dingin berkata “Bivaknya pindah  keatas ya, dalam 5 menit” dialah pak Gigih kepala sekolah SD SaBin, rasanya ingin menjerit lagi “Apa lagi siiiiiihhhhh”.

Perjalanan menuruni gunungpun dimulai tepat pukul 09.00 Kamis 27 Desember pagi, perjalan terasa lebih ringan karena jalur yang dilewati lebih mudah. Tanpa terasa akhirnya perjalananpun berakhir dengan sambutan ibu-ibu yang menenteng sebuah nampat dari anyaman bambu sambil berkata “nasi uduknya dek 3x, murah, cuma 5000 aja”. Setelah semua kelompok tiba dicamp terakhir upacara penutupan segera dimulai dengan membariskan peserta sesuai dengan kelompok awal, upacara bejalan dengan khidmat walaupun sempat terjadi hal yang mengejutkan, yakni jatuhnya seorang ibu dari SaBin.
Ini dia acara yang ditunggu-tunggu! Akhirnya datang juga….! It’s time to lunch, horeeee sate dan sopkambing plus nasi putih mengakhiri petualangan SURVIVAL gabungan Sade, Sasi, SaBin dan Sekolah Alam Karawang deengan presikat “KHUSNUL KHOTIMAH” Alhamdulillaaaah.
Sekian ceritaku, semoga dapat menghibur dan berbagi pandangan pengalaman survival ini, terimakasih
Wassalam…..

Sekolah Alam Bintaro, 10 Junuari 2013

Sabtu, 12 Januari 2013

Survival - Pika


25 Desember 2012, Selasa Malam

Maksimal 20% BB
Aula Sekolahalam Bintaro. Cukup banyak orang di sana. Kebanyakan sedang memeriksa barang mereka, selebihnya makan dan ngobrol. Aku datang bersama Bu Tati. Kami pun mengambil jatah makanan, dan bergabung dengan yang lain. Rupanya tausiah bada magrib berlangsung setelah sholat Isya. Yang paling teringat adalah nasehat bahwa perjalanan naik gunung nanti, dilakukan dalam rangka ibadah. Niatkan untuk ibadah, tidak sekedar refreshing, atau seperti pendaki gunung pada umumnya : ingin ‘menaklukan’ alam. Jadi aku kembali meluruskan niatku.

Setelah itu ada penimbangan barang bawaan. Pak Gigih memanggil satu persatu nama kami. Barang yang dibawa maksimal 20% dari berat badan. Ku lihat reaksi teman-teman, semua melihat tas masing-masing. Besar dan tinggi. Aku sendiri heran, tasku termasuk ransel gunung ukuran paling kecil sepertinya. Menggembung juga sih, tapi di bagian luarnya tidak sampai ada barang lagi. Tentengan di tanganku yang lain adalah sleeping bag TNI, ringan. Ku pikir ini pastilah kurang dari 20%. 10 kg pun tidak sampai. Benar saja, begitu tasku ditimbang, pun dengan sleeping bag TNI-ku, lolos uji berat alhamdulillah. Tidak ada yang perlu dikurangi. Malah ada temanku becanda : nitip barangku dong Pik, katanya.

Beberapa temanku tidak percaya bawaanku hanya segitu. Mereka bertanya bagaimana bisa. Hm, sebelumnya memang sudah pernah kegiatan semacam ini. Aku juga tidak tahu bawaanku kok bisa hanya segini. Akhirnya jawaban yang terpikir olehku : cara melipat baju bisa jadi berpengaruh. Aku menggulung baju seperti melinting rokok. Semakin tipis gulungannya semakin baik. Lalu kususun berbaris, membentuk shaf sholat. Aku berpikir lagi. Sebenarnya prinsipnya : aku membayangkan dulu apa yang akan dilakukan di gunung sana. Aku akan berjalan naik gunung, dan rasanya enak kalau bisa nyaman selama mendaki. Tidak merepotkan diri sendiri apalagi orang lain. Aku pun beberapa kali sibuk menyortir perlengkapan yang benar-benar dibutuhkan.

Rabu dini hari, 26 Desember 2012.
Bersiap
Perpustakaan Sekolahalam Bintaro.Aku sudah terbangun pukul 1.30 WIB. Setelah tidur berjejer layaknya barak pengungsian, aku perlu bersiap. Mandi dan berganti baju. Ku coba gendong lagi tasku dan berjalan, agak berat tapi tidak sampai membuatku oleng. Semalam aku pun memutuskan untuk meninggalkan sleeping bag TNI-ku. Ukurannya yang besar itu membuatku berpikir dua kali. Aku melihat teman sekelompokku, mereka semua membawa matras. Aku pun bisa tidur dengan beralaskan jaket parasutku. Jadi tidak masalah. Ku tinggalkan sleeping bag-ku di perpustakaan.

Kami berjalan menuju gerbang depan setelah berkumpul di aula. Absen dan menentukan jatah angkot. Angkot rupanya. Tidak jadi naik tronton perginya. Belakangan, aku mendengar cerita, kalau trontonnya mendadak akan dipakai oleh komandan. Komandan mereka yang didahulukan. Berapapun kita bayar, apa seperti itu.  Agak sedikit kecewa. Salah satu keasikan dari kegiatan ini, ya, di perjalanannya, dengan naik tronton. Kapan lagi bisa naik tronton rame-rame.

Empat angkot sudah siap di lapangan parkir Sabin. Mikrolet jurusan Ciputat, warna biru telor asin, merek Daihatsu. Aku kebagian kelompok pertama. Angkotnya acak, dipilih saja. Akhirnya satu angkot menampung 12 orang, termasuk supir. Berhubung banyak ransel besar di tengah-tengah kami. Aku langsung mengincar posisi sudut dalam angkot, paling belakang. Dengan kaca mobil di sebelahku dan sandaran tangan, puas sudah jika nanti di perjalanan ingin tidur J.

Rabu pagi, masjid Universitas.
Transit
Angkot kami parkir di halaman masjid. Sudah masuk kota Bogor ternyata. Aku kira tempat tersebut terminal. Banyak bus-bus besar diparkir. Suasana ramai orang dan tukang jualan. Kami dapat kabar kalau salah satu angkot teman kami, meletus ban. Jadi setelah sholat Subuh, kami menunggu angkot yang lain. Cukup lama kami menunggu, sampai kami bisa makan cemilan dulu, berfoto, dan saling mengobrol. Bahkan sampai halaman masjid mendadak tidak terlalu ramai. Pedagang roti bakar pun kulihat pulang ke rumahnya, dagangannya ludes. Masjid ini jadi semacam transit bus, terutama saat waktu sholat subuh seperti tadi.

Sampai Cidahu - Panggilan Alam
Alhamdulillah, setelah perjalanan berliku-liku. Menanjak dan menurun. Jalanan hanya muat satu mobil. Kami sampai juga di sebuah lapangan. Di depan lapangan ada warung. Selebihnya terlihat pepohonan hijau dan teman-teman kami dari sekolahalam Depok – Bekasi. Mereka sedang berbaris, mendengarkan Pak Cahya berbicara. Kami dipersilakan langsung mengambil makanan. Hampir jam 9 pagi, artinya kami telat sekali. Rencana awal kami sampai pukul 6 dan sarapan bersama. Angkot kelompok lain bahkan baru datang setelah aku selesai makan. Mogok lagi. Ada juga yang sampai harus jalan kaki,angkotnya tidak kuat menanjak.

Paling tidak terlupakan saat aku mendapat panggilan alam, sesaat setelah turun angkot. Sempat ku sesali, tidak buang air kecil di masjid pemberhentian tadi. Jadi, aku bertanya pada panitia, dimana toilet. Ditunjukkanlah aku pada tempat yang ia sebut toilet. Di dekat spanduk acara. Dari jauh, aku mencari-cari yang ia maksudkan. Aku tidak melihat bangunan atau tulisan arah ‘kamar mandi/WC’. Dahiku masih tetap berkerut, tapi aku sambil berjalan menghampiri spanduk itu. Mungkin tertutup spanduk, pikirku.

Beberapa teman perempuan tampak berkumpul. Aku kira mereka sedang apa, begitu mendekat ternyata! Aku agak terkejut mendapati toilet itu hanyalah aliran sungai kecil berbatu-batu, pintunya dari karung goni yang disangkutkan, dan air mengalir dari pancuran bambu. Toilet itu beratap langit. Oke, rasanya aku sudah tahu gambaran toilet di gunung seperti ini sebelumnya. Tetapi dengan kondisi sedang datang bulan, aku meringis sendiri. Aku lihat lagi sekitar, di warung depan lapangan katanya tidak ada toilet. Sempat ingin menahan saja. Begitu giliranku, ya ampun, panggilan alam ini di ujung tanduk L.

Alhamdulillah lega. Asli perlu teknik mencari pijakan batu yang tepat, sekaligus perlu menyiapkan gayung dari botol mineral, tisu basah, dan antiseptik. Pengalaman tidak menyenangkan, aku tidak terbiasa, jadi lebih baik tidak usah minum banyak. Aku bersyukur selama ini memiliki toilet berpenutup dan air berlimpah.

Teman SaDe dan SaSi
Berkenalan dengan teman dari Sekolahalam Depok dan Bekasi. Sebenarnya rombongan kami juga memuat teman-teman Sekolahalam Karawang, hanya saja semuanya laki-laki. Setelah makan, Pak Cahya meminta kami berbaris sesuai kelompok. Aku masuk kelompok 1 dan berkenalan. Dari Sekolahalam Depok ada Bu Wini, Bu Yuni, dan Bu Ade. Bu Aliya dan Bu Eka dari Sekolahalam Bekasi. Teman satu sekolahku sendiri, Bu Saodah dan Bu Manda. Bu Nafta tidak ikut. Jadi kami berdelapan. Ketua kelompok telah ditunjuk, Bu Wini dan pendamping kelompok, Pak Masud. Ini pertama kalinya kami kegiatan bersama sekolahalam lain. Melihat sekeliling, ujung kelompok terakhir dihuni oleh para bapak. Masing-masing sekolahalam memakai seragam dengan warna berbeda. SaDe berseragam oranye ngejreng, sedangkan SaSi hijau lumut. Sabin coklat muda, seperti yang ku pakai. Senangnya teman baru bertambah.

Mulai trekking
Dalam barisan, kami mendengarkan arahan dari Pak Cahya. Beliau konsultan bidang outbound di beberapa sekolahalam. Pak Cahya menjelaskan mulai dari rute perjalanan yang akan kami tempuh, waktu perjalanan, sampai aturan-aturan selama di perjalanan. Istilah pencinta alamnya : trekking. Kami diharapkan menghabiskan waktu maksimal empat jam di jalan. Setiap kelompok tidak boleh mendahului kelompok lain, pun ketika kelompok tersebut beristirahat. Kelompok dibelakangnya harus menunggu. Kecuali jika butuh pengkondisian yang lama. Kami akan melewati tiga tempat pemberhentian : Bajuri, Helipad, dan Kawah Ratu. Waktu istirahat di tiap tempat tidak lama, maksimal 15 menit.

Kami pun diingatkan untuk mengerjakan tugas kelompok : observasi tanah dan air, tumbuhan, dan hewan. Hasil observasi dituliskan di buku panduan. Aku dan teman-teman Sabin kebagian observasi hewan di hutan nanti. Observasi hewan meliputi makanan, jejak kaki, sampai kotorannya. Dari ketiga pengamatan itu, diharapkan kami dapat mengetahui hewan apa saja yang hidup di hutan tersebut. Hal menarik lainnya, tugas memungut sampah. Satu kelompok membawa satu trash bag hitam besar. Sepanjang perjalanan, kami harus memunguti sampah yang terlihat. Kami memutuskan trash bag akan dibawa bergantian.

Ransel backpack kami ambil setelah aba-aba dari Pak Cahya. Setelah itu, sebagai kelompok pertama, kami diminta mulai berjalan. Pak Cahya memimpin di depan, pendamping kelompok tepat di belakang kami. Panitia membagikan satu lontong sebagai bekal tambahan. Aku pun berjalan mengikuti barisan. Belokan pertama, Pak Cahya kembali memeriksa barisan. Mendapati aku dan Bu Saodah yang menenteng jaket tebal, Pak Cahya minta kami masukkan saja jaket itu ke dalam tas. Tangan harus bebas selama trekking,kata beliau. Melihat ransel beliau, rapi dan simpel, kelihatan ringan. Akhirnya ku selipkan jaket tebal itu di bahuku. Sementara Bu Saodah menyumpalkannya di salah satu tali tas backpacknya. Bismillah, siap mendaki!

Belum sampai lima menit, jalanan yang kami lalui sudah menanjak. Jalan setapak hanya muat satu kelompok. Tangga berbatu dan tanah merah. Sesekali kami berhenti. Terutama setelah kami melewati tanjakan curam. Pak Cahya memanfaatkan jeda itu untuk memantau kelompok lain dengan handytalkie-nya. Aku sendiri mulai merasakan nafasku tidak teratur. Ku lihat beberapa teman sekelompok juga seperti itu. Wow, ini baru awal Pika, batinku. Aku melihat rok-celanaku yang sudah dipenitikan, untungnya. Selain barang bawaan dengan berat yang pas, pakaian trekking juga menentukan : yang memudahkan kita berjalan dan menyerap keringat. Pakaian lapangan terbaik adalah baju lengan panjang dan celana panjang. Alas kaki ideal adalah sepatu boot ringan.

Sepanjang jalan pepohonan dan batu. Iyalah, namanya hutan. Sebenarnya aku lebih banyak memerhatikan jalan setapak yang kulalui. Pohon dan batu terlihat sama saja. Setiap jalan seakan sama dan kami hanya berputar-putar saja. Saking fokusnya mata melihat ke bawah. Paling begitu ada riak air sungai, betapa bening airnya. Sesekali kami pun menyebrangi sungai kecil, menegelamkan kaki kami. Entah sudah berapa lama kami berjalan. Mendaki, menurun, datar. Lebih banyak mendaki. Posisi kelompok kami pun sudah tidak seperti awal. Ada yang tadinya berada di depan, tiba-tiba menjadi di paling belakang, dan sebaliknya.     

“Stop dulu Paak!”. Teman di belakangku berkata. Ia pun sedang melihat ke arah Bu Manda. Di sana ada Pak Masud, sedang meminta Bu Manda mengatur nafas. Bu Manda membungkuk, meletakkan tangannya pada lututnya. Dari posisiku, ia seakan sedang tertimpa tas backpack-nya sendiri. Rupanya ia kelelahan. Ini sudah yang keberapa kali. Jadi ku pikir, Pak Cahya akan meminta ia untuk tidak melanjutkan perjalanan. Kami hanya bisa berdiri melihat. Aku merasa lemas, pundak dan kaki pegal. Sambil memanfaatkan momen itu untuk duduk, kami pun berusaha membantu dengan kata-kata semangat.  Setelah meneguk air dan snack yang ia bawa, Bu Manda siap melanjutkan perjalanan. Tiba-tiba Pak Cahya memberi instruksi agar Bu Manda berada di barisan paling depan. Kami pun berjalan kembali.

Berapa jarak yang sudah ku tempuh. Tadinya aku tidak paham, ada teman sekelompokku yang meneriakkan “HM 15”. Sebuah patok bercat hijau. Ia teriakkan setiap kali bertemu dengan patok hijau. Rupanya itulah tanda jarak perjalanan yang telah kami tempuh. Satu HM sama dengan satu kilometer. Berarti setiap satu kilometer, patok itu tertancap. Dan artinya, kami telah berjalan selama 15 Km. Lalu HM 20, HM 25, HM 30 kami lewati. Ngomong-ngomong, sampai HM berapa ya kita sampai, batinku.

Langkah Pak Cahya tetap tegap di depan barisan. Kuperhatikan, beliau sering kali menunggu kami menyusulnya. Setiap kali aku menengadahkan kepala ke depan, sekedar mencari nafas baru, Pak Cahya tampak menghilang dari pandangan. Begitu kami sampai di tempat Pak Cahya berdiri, kami pun berhenti juga. Pak Cahya mengingatkan untuk mengatur nafas : balik kanan, ambil nafas, dan hembuskan. Temanku melakukan hal yang sama. Ada pula yang berposisi rukuk, atau langsung duduk berselonjor kaki. Belum sampai lima menit berhenti, Pak Cahya sudah meminta kami berdiri. Dan beliau pun kembali melesat, seperti berjalan di tengah jalan raya Bintaro.

Pak Cahya memandu kami juga dalam hal pengamatan tumbuhan dan hewan. Beliau kadang berhenti, agar kami dapat mendengarnya bercerita tentang satu tumbuhan yang ditemukannya. Beliau memungut sampah, mengopernya kepada kami. Selebihnya, beliau terus berjalan dan tidak banyak bicara. Nafasnya terlihat stabil, tidak ngos-ngosan seperti kami. Selain mensyukuri ranselku yang simpel, aku sangat mempercayai pengaruh energi positif dari Pak Cahya, mendorongku dan teman-temanku untuk terus berjalan. Sehari-hari, aku jarang olahraga, apalagi naik gunung. Ini seperti tebusan tunai untukku. Kalau lelah sudah menyerang, aku sibukkan dengan melihat sekitar, menghembuskan nafas, memikirkan hal yang indah atau lucu, sampai…bernyanyi. Tidak mudah memang, tapi tidak menyangka, ternyata aku bisa sejauh ini, alhamdulillah.

Tiba-tiba Bu Saodah membungkukkan badannya. Ku lihat memang langkahnya gontai dari tadi dan tampak ingin muntah. Bermaksud menyemangati, aku bilang ingat anak-anak PG dan TAKE – ekskul asuhannya. Belum sampai habis perkataanku, Bu Saodah benar-benar muntah. Kami pun berhenti. Bu Saodah minum dan meminta diambilkan tisu di dalam tasnya. Sambil mencari tisu, kulihat tas beliau penuh sekali. Akhirnya sleeping bagnya ku selendangkan di leher. Bu Saodah melanjutkan perjalanan.  

“2 HM lagi!”, ku dengar teman di depanku entah siapa, berteriak. Teriakkan pengharapan seperti oase di padang pasir. Kami akan sampai pada tempat peristirahatan pertama. Aku pun meneriakkan ulang untuk teman-teman di belakangku. Langkahku terasa ringan. Jalanan pun semakin datar. Setelah melewati sungai kecil dan tangga berbatu, kami pun tiba di Bajuri.

Bajuri
Plang ‘Bajuri’ tertera di sana. Sebuah lapangan kecil berumput, tapi lebih banyak tertutup lumpur. Pak Cahya bilang bajuri itu pertigaan. Pertigaan bajuri. Langsung teringat teman satu sekolah bernama Pak Bazuri. Terpikir untuk bertanya padanya nanti, apa benar arti nama beliau juga pertigaan. Kami duduk di sana, berkelompok. Satu persatu kelompok lain mulai berdatangan. Setiap kali ada orang yang muncul, tepuk tangan sampai riuhan, terdengar. Setiap kali itu pula, orang yang diriuhi, menyunggingkan senyum atau tertawa. Ya, kepuasan telah menyelesaikan perjalanan. Setidaknya mereka berhasil sampai di tempat ini.

Senang sekali bisa duduk, berselonjor kaki, dan bersender pada ransel. Makan bekalku sambil menatap langit. Pesan Pak Cahya di awal, makan secukupnya saja. Makin banyak yang dimakan, makin kenyang, maka akan semakin berat berjalan. Aku pun tidak ingin bertoilet langit lagi. Jadilah ku makan coklat Coki-coki, dan sedikit rambutan dari teman sebelah. Energiku terisi kembali. Lima belas menit kami beristirahat. Kami kelompok pertama yang sampai jadi istirahatnya lebih lama. Melihat Pak Cahya sudah memberi aba-aba untuk berbaris, kami bersiap jalan. Pak Cahya mengingatkan agar berjalan sesuai urutan kelompok, tidak saling mendahului. Barisan kelompok ibu-ibu, didahulukan. Target tempat istirahat kami yang kedua : Helipad.

Helipad

Kawah Ratu

HM 65, Akhirnya!

Malam yang Panjang

Alhamdulillah We Are Survive!

Menurun Gunung

Syal Merah

Rabu, 02 Januari 2013

When I was 5 Years Old


Ketika usiaku lima tahun aku mulai mengenal sekolah Taman kanak – kanak (TK). Nama TK aku adalah Dharma Wanita. Lokasinya 500 Km dari rumahku. Karena daerahku berada di kaki bukit gunung Lawu sehingga daerah tempat tinggalku secara geografis bertebing. Ada yang rumahnya di tebing atas ada yang di tebing bawah.
Untuk sekolahku posisinya di tebing bawah. Aku tidak menuruni bukit hanya saja jalan yang kulewati juga berliku - liku. Meskipun jalannya seperti itu, bahagia rasanya aku sekolah hari ini. Tak terbayangkan kebahagiaan itu. Hari ini aku akan bertemu guruku. Kata Ibuku nama gurunya adalah Bu Suyatmi.
Oh iya sebelumnya aku juga pernah datang ke sekolah. Harinya kapan aku sudah tidak ingat. Yang ku ingat adalah bahwa hari itu adalah hari dimana Ibuku mendaftarkan aku ke sekolah yang nanti akan kudatangi hari tersebut.
Jarak 500 Km tidak membuatku malas justru yang terfikir olehku adalah kegembiraan bertemu teman – teman, punya Ibu Guru, bisa main Ayunan dan bisa main banyak hal di sekolahku nanti. Ah aku ingin segera bersiap supaya aku tidak terlambat.
Ibuku tidak membangunkan aku. Aku bangun tidur sendiri.Dan “Lihat  Ibu aku sudah bangun” kataku sebari mengambil handuk dan sabun mandi. Ibuku masih sibuk memasak  dan menyiapkan sarapan untukku. Aku lihat beliau juga tak kalah bahagia karena melihat anaknya hari ini sekolah. Yap! Hari pertama sekolah.
Setelah mandi  bergegas aku keringkan badanku dengan handuk, aku pakai baju sendiri, meski terasa sulit memakainya aku berusaha memakainya dengan benar. Kata Ibuku “ Sudah sekolah harus belajar pakai baju sendiri, makan sendiri, mandi sendiri dan berani berangkat sekolah sendiri”. Seketika aku membayangkan tetanggaku dan teman mainku yang sudah besar juga melakukan hal tersebut. Aku berfikir  memang aku harus bisa melakukan semua itu maka aku akan disebut anak yang sudah besar. Hehe…
Mandi aku bisa sendiri, makan aku bisa sendiri, pakai baju juga sendiri . Nah yang belum aku bisa adalah mengepang rambutku sendiri. Ibu ku segera mengambil sisir untuk mengepang rambutku dan dijepitnya rambutku dengan pita merah  kesukaanku. Aku mengaca di depan cermin. Aku lihat aku sangat manis, apalagi dengan bedak yang diusap oleh ibuku. Ibuku bilang “ Nah kalau sudah sekolah seperti ini, mandi sendiri, makan nanti juga sendiri, kalau sudah bisa menyisir dan mengepang sendiri juga dilakukan sendiri, kalau belum bisa nanti Ibu ajarin”.
Aku sudah siap dan rapi. Kulangkahkan kaki menuju tempat makan. Sarapan sebelum berangkat. Supaya aku kuat aku harus makan yang banyak. Kata ibuku kau tak perlu membawa nasi karena aku pulang jam 09.00 WIB.
Baju yang aku pakai waktu itu berwarna biru muda dan celana training. Itulah seragam TK ku. Aku senang memakainya. Jarum pendek  jam dinding sudah mendekati angka lima dan jarum pendek di angka enam . Ibuku meminta untuk berangkat sekarang.
Tanpa lama – lama segera aku mengambil tas baruku.Seingatku aku punya tas baru tapi aku sudah lupa warnanya apa. Yang aku ingat hanya membawa kantong kresek hitam berisi mainan. Aku memang tidak membawa  makanan, yang aku bawa mainanku di rumah ada bongkar pasang (orang –orangan dari kertas), kelereng, potongan kertas dan lain- lain. Ibuku bilang kalau sekolahku hanya dua jam dari jam tujuh sampai jam Sembilan. Jadi aku tidak perlu membawa makan siang. Justru yang terfikir adalah aku bawa maianan ke sekolah.Aku berharap dengan membawa mainan aku bisa bermain bersama teman – temanku nanti di sekolah.
Seperti yang aku ungkapkan sebelumnya hari pertamaku ke sekolah aku sangat senang sekali . Ibuku mengantarku  ke sekolah dengan jalan kaki. Kondisi jalan yang ku lewati masih banyak pohon besar,  dan jalannya berbatu. Selain jalannya naik turun aku dan ibuku melintasi jalan yang disamping kanan dan kirinya di kelilingi pohon bambu. Rimbun sekali. lokasi yang masih sangat pedesaan dan sepi membuat aku merinding melewati rerimbunan pohon bambu ini. Entahlah aku sedang membayangkan hantu karena terimajinasi cerita  peri teman mainku di rumah.
Ternyata imajinasiku hanya lintasan saja toh tidak ada apa – apa. Tiga puluh menit aku berjalan bersama Ibuku menuju sekolah. Selama perjalanan Ibuku banyak bercerita sambil menasehatiku. Aku sudahh tidak ingat Ibuku bercerita apa waktu itu. Hanya saja aku masih ingat pesan Ibu sebelum pulang meninggalkan aku ke sekolah. Pesan ini ku ingat karena menjadi penyemangat aku untuk berani berangkat sekolah sendiri mulai hari kedua aku sekolah.
“ Hebat kau nak, hari ini sudahh sekolah, supaya kamu lebih berani besok berangkat sendiri ya.. dicoba dulu. Berani? “ kata ibuku. Entah kenapa tanpa berfikir panjang aku langsung menjawab “ Iya”. Masih terbayang keseraman jalan yang dikelilingi rerimbunan pohon bamboo tadi. Tapi sungguh aku ingin menunjukkan aku berani berangkat sekolah sendiri kepada ibuku.
Sekolahku indah sekali, banyak mainan, pohon yang tidak terlalu tinggi dan bisa aku panjat, playground outdoor  yang menyenangkan, bunga – bunga di sekolahku juga bermacam – macam. Sekolahku hanya ada satu ruangan. Ya… itulah kelasku. Masih tekunci karena Bu guru  belum datang. Gambar – gambar di tempel di dinding kelas. Ku lihat di belakang ada bermacam – macam mainan lego, balok dsb.
Aku senang dengan sekolahku.
Tidak lama bu guruku muncul dari arah bawah. Rumah guruku secara geografis di tebing yang lebih rendah dibanding sekolahku. Guruku pakai baju warna apa aku sudah tidak ingat. Kalau tidak salah tasnya hitam dan membawa paying besar. Tanganku masih berpegangan dengan tangan ibu.
Kian dekat jarak guruku dan tidak sedikit anak yang sudah kenal berhamburan menjemput guru berebutan untuk bersalaman kepada guru. Kurang lebih 10 anak sudah datang ketika guruku datang. Aku masih berdiri di tempat yang sama di samping sekolahku bersama ibuku.
Ibuku pamit kepadaku setelah bersalaman dengan guruku. Aku menurut saja mengikuti guruku masuk kelas. Dan ternyata tidak lama setelah guru ku datang  anak yang lain berdatangan juga. Tadi sebelum masuk kau melihat kelasnya bagus sekarang aku sudah bisa duduk di dalam. Aku senang sekali.
Kelasku penuh dengan bangku dan perabot kelas. Aku tidak bisa bermain di dalam kelas. Kalau aku mau main aku harus keluar kelas. Mainan yang aku bawa juga tak ku mainkan. Aku lebih suka main ayunan bersama teman – temanku. Oh iya nama temanku Upik, Nana, Hasan, Ari, Salam, Tati, Nur, Pika, Anto  yan itu nama yang masih ku ingat di hari pertama aku sekolah. Jumlah teman sekelasku ada 30 anak..aku  sudah tidak ingat semua namanya.
Aku belajar menyanyi dan bermain. Seru hari pertama aku sekolah. Kunikmati indah sekali.
Pukul 09.00 WIB sudah pulang sekolah. Aku juga sudah baca doa  membaca surat Al Asr  lalu menyanyi
Sayo nara sayo nara sampai berjumpa pulang 2X
Buat apa susah 2X
Susah itu tak ada gunanya 2X
Aku lihat ibuku sudahh di depan kelas menjemputku pulang. Aku masih ingat hari kedua aku tepati janjiku. Aku berangkat sendiri dan tepat dibawah rerimbunan pohon bamboo aku berlari sekencang -  kencangnya. Saking merindingnya aku terengah – engah sampai ke sekolah. Tapi aku merasa senang aku bisa melewatinya.

Senandung kata untuk Bunda


Memulai hari di kala fajar menyapa
Begitu hangat….sehangat senyuman Bunda menyapaku

Meski aku tak begitu mampu mengingatnya
Ini ceritaku untuk Bunda

Aku hanyalah bayi mungil,5 tahun yang lalu…
Yang hanya mampu menangis sepanjang waktu
Dari pagi hingga petang dalam pangkuanmu
Merengek, meronta tak tentu…
Bunda, namun kau tetap tersenyum
Sambil menatap dan mengamati wajahku yang terus menangis
Namun, kau tetap bilang “aku lucu”

Bunda, satu tahun berlalu
Aku mulai berjalan
Mungkin kau berharap aku tak lagi membebani tubuhmu
Ternyata tidak juga Bunda
Aku mungkin justru semakin membuatmu khawatir
Berjalan hingga jauh dari dekapanmu
Menghilang di sela-sela waktu tidurmu
Ohh..Bunda, kau masih juga tersenyum…

Bunda, kini aku sudah 5 tahun
Berharap mampu mandiri dengan segala keakuanku
Mampu sholih seperti para pendahuluku
Mampu mengenal dunia dengan kecerdasanku
Bunda…
Maaf untuk salah dan khilaf
Semoga mampu membuatmu semakin kuat dan bersabar
Terimakasih bunda…
Untuk pengasuhanmu
Untuk segelas susu yang setiap hari kau siapkan
Untuk nasi goreng spesial yang setiap hari kuminta
Untuk dongeng sebelum tidur yang tak bosan kau ceritakan

Bunda, do’aku untukmu
Semoga Allah selalu menjagamu dalam setiap langkah
Dan kelak, kita berjumpa kembali di sana
Di taman surga bersama keluarga kita tercinta

~Selamat Hari Ibu, Bunda~
I LOVE YOU