25 Desember
2012, Selasa Malam
Maksimal 20%
BB
Aula Sekolahalam Bintaro. Cukup banyak orang di sana. Kebanyakan
sedang memeriksa barang mereka, selebihnya makan dan ngobrol. Aku datang
bersama Bu Tati. Kami pun mengambil jatah makanan, dan bergabung dengan yang
lain. Rupanya tausiah bada magrib berlangsung setelah sholat Isya. Yang paling
teringat adalah nasehat bahwa perjalanan naik gunung nanti, dilakukan dalam
rangka ibadah. Niatkan untuk ibadah, tidak sekedar refreshing, atau seperti
pendaki gunung pada umumnya : ingin ‘menaklukan’ alam. Jadi aku kembali
meluruskan niatku.
Setelah itu ada penimbangan barang bawaan. Pak Gigih memanggil satu
persatu nama kami. Barang yang dibawa maksimal 20% dari berat badan. Ku lihat
reaksi teman-teman, semua melihat tas masing-masing. Besar dan tinggi. Aku
sendiri heran, tasku termasuk ransel gunung ukuran paling kecil sepertinya.
Menggembung juga sih, tapi di bagian luarnya tidak sampai ada barang lagi.
Tentengan di tanganku yang lain adalah sleeping bag TNI, ringan. Ku pikir ini
pastilah kurang dari 20%. 10 kg pun tidak sampai. Benar saja, begitu tasku
ditimbang, pun dengan sleeping bag TNI-ku, lolos uji berat alhamdulillah. Tidak
ada yang perlu dikurangi. Malah ada temanku becanda : nitip barangku dong Pik, katanya.
Beberapa temanku tidak percaya bawaanku hanya segitu. Mereka bertanya
bagaimana bisa. Hm, sebelumnya memang sudah pernah kegiatan semacam ini. Aku
juga tidak tahu bawaanku kok bisa hanya segini. Akhirnya jawaban yang terpikir
olehku : cara melipat baju bisa jadi berpengaruh. Aku menggulung baju seperti
melinting rokok. Semakin tipis gulungannya semakin baik. Lalu kususun berbaris,
membentuk shaf sholat. Aku berpikir lagi. Sebenarnya prinsipnya : aku
membayangkan dulu apa yang akan dilakukan di gunung sana. Aku akan berjalan
naik gunung, dan rasanya enak kalau bisa nyaman selama mendaki. Tidak
merepotkan diri sendiri apalagi orang lain. Aku pun beberapa kali sibuk
menyortir perlengkapan yang benar-benar dibutuhkan.
Rabu dini hari, 26 Desember 2012.
Bersiap
Perpustakaan Sekolahalam Bintaro.Aku sudah terbangun pukul 1.30 WIB.
Setelah tidur berjejer layaknya barak pengungsian, aku perlu bersiap. Mandi dan
berganti baju. Ku coba gendong lagi tasku dan berjalan, agak berat tapi tidak
sampai membuatku oleng. Semalam aku pun memutuskan untuk meninggalkan sleeping
bag TNI-ku. Ukurannya yang besar itu membuatku berpikir dua kali. Aku melihat
teman sekelompokku, mereka semua membawa matras. Aku pun bisa tidur dengan
beralaskan jaket parasutku. Jadi tidak masalah. Ku tinggalkan sleeping bag-ku di perpustakaan.
Kami berjalan menuju gerbang depan setelah berkumpul di aula. Absen
dan menentukan jatah angkot. Angkot rupanya. Tidak jadi naik tronton perginya.
Belakangan, aku mendengar cerita, kalau trontonnya mendadak akan dipakai oleh
komandan. Komandan mereka yang didahulukan. Berapapun kita bayar, apa seperti
itu. Agak sedikit kecewa. Salah satu
keasikan dari kegiatan ini, ya, di perjalanannya, dengan naik tronton. Kapan
lagi bisa naik tronton rame-rame.
Empat angkot sudah siap di lapangan parkir Sabin. Mikrolet jurusan
Ciputat, warna biru telor asin, merek Daihatsu. Aku kebagian kelompok pertama.
Angkotnya acak, dipilih saja. Akhirnya satu angkot menampung 12 orang, termasuk
supir. Berhubung banyak ransel besar di tengah-tengah kami. Aku langsung
mengincar posisi sudut dalam angkot, paling belakang. Dengan kaca mobil di
sebelahku dan sandaran tangan, puas sudah jika nanti di perjalanan ingin tidur J.
Rabu pagi, masjid Universitas.
Transit
Angkot kami parkir di halaman masjid. Sudah masuk kota Bogor ternyata.
Aku kira tempat tersebut terminal. Banyak bus-bus besar diparkir. Suasana ramai
orang dan tukang jualan. Kami dapat kabar kalau salah satu angkot teman kami,
meletus ban. Jadi setelah sholat Subuh, kami menunggu angkot yang lain. Cukup
lama kami menunggu, sampai kami bisa makan cemilan dulu, berfoto, dan saling
mengobrol. Bahkan sampai halaman masjid mendadak tidak terlalu ramai. Pedagang
roti bakar pun kulihat pulang ke rumahnya, dagangannya ludes. Masjid ini jadi
semacam transit bus, terutama saat waktu sholat subuh seperti tadi.
Sampai Cidahu - Panggilan Alam
Alhamdulillah, setelah perjalanan berliku-liku. Menanjak dan menurun.
Jalanan hanya muat satu mobil. Kami sampai juga di sebuah lapangan. Di depan
lapangan ada warung. Selebihnya terlihat pepohonan hijau dan teman-teman kami
dari sekolahalam Depok – Bekasi. Mereka sedang berbaris, mendengarkan Pak Cahya
berbicara. Kami dipersilakan langsung mengambil makanan. Hampir jam 9 pagi,
artinya kami telat sekali. Rencana awal kami sampai pukul 6 dan sarapan
bersama. Angkot kelompok lain bahkan baru datang setelah aku selesai makan.
Mogok lagi. Ada juga yang sampai harus jalan kaki,angkotnya tidak kuat
menanjak.
Paling tidak terlupakan saat aku mendapat panggilan alam, sesaat
setelah turun angkot. Sempat ku sesali, tidak buang air kecil di masjid
pemberhentian tadi. Jadi, aku bertanya pada panitia, dimana toilet.
Ditunjukkanlah aku pada tempat yang ia sebut toilet. Di dekat spanduk acara.
Dari jauh, aku mencari-cari yang ia maksudkan. Aku tidak melihat bangunan atau
tulisan arah ‘kamar mandi/WC’. Dahiku masih tetap berkerut, tapi aku sambil
berjalan menghampiri spanduk itu. Mungkin tertutup spanduk, pikirku.
Beberapa teman perempuan tampak berkumpul. Aku kira mereka sedang apa,
begitu mendekat ternyata! Aku agak terkejut mendapati toilet itu hanyalah
aliran sungai kecil berbatu-batu, pintunya dari karung goni yang disangkutkan,
dan air mengalir dari pancuran bambu. Toilet itu beratap langit. Oke, rasanya
aku sudah tahu gambaran toilet di gunung seperti ini sebelumnya. Tetapi dengan
kondisi sedang datang bulan, aku meringis sendiri. Aku lihat lagi sekitar, di
warung depan lapangan katanya tidak ada toilet. Sempat ingin menahan saja.
Begitu giliranku, ya ampun, panggilan alam ini di ujung tanduk L.
Alhamdulillah lega. Asli perlu teknik mencari pijakan batu yang tepat,
sekaligus perlu menyiapkan gayung dari botol mineral, tisu basah, dan
antiseptik. Pengalaman tidak menyenangkan, aku tidak terbiasa, jadi lebih baik
tidak usah minum banyak. Aku bersyukur selama ini memiliki toilet berpenutup
dan air berlimpah.
Teman SaDe dan SaSi
Berkenalan dengan teman dari Sekolahalam Depok dan Bekasi. Sebenarnya
rombongan kami juga memuat teman-teman Sekolahalam Karawang, hanya saja
semuanya laki-laki. Setelah makan, Pak Cahya meminta kami berbaris sesuai
kelompok. Aku masuk kelompok 1 dan berkenalan. Dari Sekolahalam Depok ada Bu
Wini, Bu Yuni, dan Bu Ade. Bu Aliya dan Bu Eka dari Sekolahalam Bekasi. Teman
satu sekolahku sendiri, Bu Saodah dan Bu Manda. Bu Nafta tidak ikut. Jadi kami
berdelapan. Ketua kelompok telah ditunjuk, Bu Wini dan pendamping kelompok, Pak
Masud. Ini pertama kalinya kami kegiatan bersama sekolahalam lain. Melihat
sekeliling, ujung kelompok terakhir dihuni oleh para bapak. Masing-masing
sekolahalam memakai seragam dengan warna berbeda. SaDe berseragam oranye
ngejreng, sedangkan SaSi hijau lumut. Sabin coklat muda, seperti yang ku pakai.
Senangnya teman baru bertambah.
Mulai trekking
Dalam barisan, kami mendengarkan arahan dari Pak Cahya. Beliau
konsultan bidang outbound di beberapa sekolahalam. Pak Cahya menjelaskan mulai
dari rute perjalanan yang akan kami tempuh, waktu perjalanan, sampai
aturan-aturan selama di perjalanan. Istilah pencinta alamnya : trekking. Kami diharapkan menghabiskan
waktu maksimal empat jam di jalan. Setiap kelompok tidak boleh mendahului
kelompok lain, pun ketika kelompok tersebut beristirahat. Kelompok
dibelakangnya harus menunggu. Kecuali jika butuh pengkondisian yang lama. Kami
akan melewati tiga tempat pemberhentian : Bajuri, Helipad, dan Kawah Ratu.
Waktu istirahat di tiap tempat tidak lama, maksimal 15 menit.
Kami pun diingatkan untuk mengerjakan tugas kelompok : observasi tanah
dan air, tumbuhan, dan hewan. Hasil observasi dituliskan di buku panduan. Aku
dan teman-teman Sabin kebagian observasi hewan di hutan nanti. Observasi hewan
meliputi makanan, jejak kaki, sampai kotorannya. Dari ketiga pengamatan itu,
diharapkan kami dapat mengetahui hewan apa saja yang hidup di hutan tersebut.
Hal menarik lainnya, tugas memungut sampah. Satu kelompok membawa satu trash bag hitam besar. Sepanjang
perjalanan, kami harus memunguti sampah yang terlihat. Kami memutuskan trash bag akan dibawa bergantian.
Ransel backpack kami ambil
setelah aba-aba dari Pak Cahya. Setelah itu, sebagai kelompok pertama, kami
diminta mulai berjalan. Pak Cahya memimpin di depan, pendamping kelompok tepat
di belakang kami. Panitia membagikan satu lontong sebagai bekal tambahan. Aku
pun berjalan mengikuti barisan. Belokan pertama, Pak Cahya kembali memeriksa
barisan. Mendapati aku dan Bu Saodah yang menenteng jaket tebal, Pak Cahya
minta kami masukkan saja jaket itu ke dalam tas. Tangan harus bebas selama trekking,kata beliau. Melihat ransel beliau,
rapi dan simpel, kelihatan ringan. Akhirnya ku selipkan jaket tebal itu di
bahuku. Sementara Bu Saodah menyumpalkannya di salah satu tali tas backpacknya. Bismillah, siap mendaki!
Belum sampai lima menit, jalanan yang kami lalui sudah menanjak. Jalan
setapak hanya muat satu kelompok. Tangga berbatu dan tanah merah. Sesekali kami
berhenti. Terutama setelah kami melewati tanjakan curam. Pak Cahya memanfaatkan
jeda itu untuk memantau kelompok lain dengan handytalkie-nya. Aku sendiri mulai merasakan nafasku tidak teratur.
Ku lihat beberapa teman sekelompok juga seperti itu. Wow, ini baru awal Pika, batinku. Aku melihat rok-celanaku yang
sudah dipenitikan, untungnya. Selain barang bawaan dengan berat yang pas,
pakaian trekking juga menentukan :
yang memudahkan kita berjalan dan menyerap keringat. Pakaian lapangan terbaik
adalah baju lengan panjang dan celana panjang. Alas kaki ideal adalah sepatu
boot ringan.
Sepanjang jalan pepohonan dan batu. Iyalah, namanya hutan. Sebenarnya
aku lebih banyak memerhatikan jalan setapak yang kulalui. Pohon dan batu
terlihat sama saja. Setiap jalan seakan sama dan kami hanya berputar-putar
saja. Saking fokusnya mata melihat ke bawah. Paling begitu ada riak air sungai,
betapa bening airnya. Sesekali kami pun menyebrangi sungai kecil, menegelamkan
kaki kami. Entah sudah berapa lama kami berjalan. Mendaki, menurun, datar.
Lebih banyak mendaki. Posisi kelompok kami pun sudah tidak seperti awal. Ada
yang tadinya berada di depan, tiba-tiba menjadi di paling belakang, dan sebaliknya.
“Stop dulu Paak!”. Teman di belakangku berkata. Ia pun sedang melihat
ke arah Bu Manda. Di sana ada Pak Masud, sedang meminta Bu Manda mengatur
nafas. Bu Manda membungkuk, meletakkan tangannya pada lututnya. Dari posisiku,
ia seakan sedang tertimpa tas backpack-nya
sendiri. Rupanya ia kelelahan. Ini sudah yang keberapa kali. Jadi ku pikir, Pak
Cahya akan meminta ia untuk tidak melanjutkan perjalanan. Kami hanya bisa
berdiri melihat. Aku merasa lemas, pundak dan kaki pegal. Sambil memanfaatkan
momen itu untuk duduk, kami pun berusaha membantu dengan kata-kata
semangat. Setelah meneguk air dan snack yang ia bawa, Bu Manda siap
melanjutkan perjalanan. Tiba-tiba Pak Cahya memberi instruksi agar Bu Manda
berada di barisan paling depan. Kami pun berjalan kembali.
Berapa jarak yang sudah ku tempuh. Tadinya aku tidak paham, ada teman
sekelompokku yang meneriakkan “HM 15”. Sebuah patok bercat hijau. Ia teriakkan
setiap kali bertemu dengan patok hijau. Rupanya itulah tanda jarak perjalanan
yang telah kami tempuh. Satu HM sama dengan satu kilometer. Berarti setiap satu
kilometer, patok itu tertancap. Dan artinya, kami telah berjalan selama 15 Km.
Lalu HM 20, HM 25, HM 30 kami lewati. Ngomong-ngomong, sampai HM berapa ya kita
sampai, batinku.
Langkah Pak Cahya tetap tegap di depan barisan. Kuperhatikan, beliau
sering kali menunggu kami menyusulnya. Setiap kali aku menengadahkan kepala ke
depan, sekedar mencari nafas baru, Pak Cahya tampak menghilang dari pandangan.
Begitu kami sampai di tempat Pak Cahya berdiri, kami pun berhenti juga. Pak
Cahya mengingatkan untuk mengatur nafas : balik kanan, ambil nafas, dan
hembuskan. Temanku melakukan hal yang sama. Ada pula yang berposisi rukuk, atau
langsung duduk berselonjor kaki. Belum sampai lima menit berhenti, Pak Cahya
sudah meminta kami berdiri. Dan beliau pun kembali melesat, seperti berjalan di
tengah jalan raya Bintaro.
Pak Cahya memandu kami juga dalam hal pengamatan tumbuhan dan hewan.
Beliau kadang berhenti, agar kami dapat mendengarnya bercerita tentang satu
tumbuhan yang ditemukannya. Beliau memungut sampah, mengopernya kepada kami.
Selebihnya, beliau terus berjalan dan tidak banyak bicara. Nafasnya terlihat
stabil, tidak ngos-ngosan seperti kami. Selain mensyukuri ranselku yang simpel,
aku sangat mempercayai pengaruh energi positif dari Pak Cahya, mendorongku dan
teman-temanku untuk terus berjalan. Sehari-hari, aku jarang olahraga, apalagi
naik gunung. Ini seperti tebusan tunai untukku. Kalau lelah sudah menyerang,
aku sibukkan dengan melihat sekitar, menghembuskan nafas, memikirkan hal yang
indah atau lucu, sampai…bernyanyi. Tidak mudah memang, tapi tidak menyangka,
ternyata aku bisa sejauh ini, alhamdulillah.
Tiba-tiba Bu Saodah membungkukkan badannya. Ku lihat memang langkahnya
gontai dari tadi dan tampak ingin muntah. Bermaksud menyemangati, aku bilang
ingat anak-anak PG dan TAKE – ekskul asuhannya. Belum sampai habis perkataanku,
Bu Saodah benar-benar muntah. Kami pun berhenti. Bu Saodah minum dan meminta
diambilkan tisu di dalam tasnya. Sambil mencari tisu, kulihat tas beliau penuh
sekali. Akhirnya sleeping bagnya ku selendangkan di leher. Bu Saodah
melanjutkan perjalanan.
“2 HM lagi!”, ku dengar teman di depanku entah siapa, berteriak.
Teriakkan pengharapan seperti oase di padang pasir. Kami akan sampai pada
tempat peristirahatan pertama. Aku pun meneriakkan ulang untuk teman-teman di
belakangku. Langkahku terasa ringan. Jalanan pun semakin datar. Setelah
melewati sungai kecil dan tangga berbatu, kami pun tiba di Bajuri.
Bajuri
Plang ‘Bajuri’ tertera di sana. Sebuah lapangan kecil berumput, tapi
lebih banyak tertutup lumpur. Pak Cahya bilang bajuri itu pertigaan. Pertigaan
bajuri. Langsung teringat teman satu sekolah bernama Pak Bazuri. Terpikir untuk
bertanya padanya nanti, apa benar arti nama beliau juga pertigaan. Kami duduk
di sana, berkelompok. Satu persatu kelompok lain mulai berdatangan. Setiap kali
ada orang yang muncul, tepuk tangan sampai riuhan, terdengar. Setiap kali itu
pula, orang yang diriuhi, menyunggingkan senyum atau tertawa. Ya, kepuasan
telah menyelesaikan perjalanan. Setidaknya mereka berhasil sampai di tempat
ini.
Senang sekali bisa duduk, berselonjor kaki, dan bersender pada ransel.
Makan bekalku sambil menatap langit. Pesan Pak Cahya di awal, makan secukupnya
saja. Makin banyak yang dimakan, makin kenyang, maka akan semakin berat
berjalan. Aku pun tidak ingin bertoilet langit lagi. Jadilah ku makan coklat
Coki-coki, dan sedikit rambutan dari teman sebelah. Energiku terisi kembali.
Lima belas menit kami beristirahat. Kami kelompok pertama yang sampai jadi
istirahatnya lebih lama. Melihat Pak Cahya sudah memberi aba-aba untuk
berbaris, kami bersiap jalan. Pak Cahya mengingatkan agar berjalan sesuai
urutan kelompok, tidak saling mendahului. Barisan kelompok ibu-ibu,
didahulukan. Target tempat istirahat kami yang kedua : Helipad.
Helipad
Kawah Ratu
HM 65, Akhirnya!
Malam yang Panjang
Alhamdulillah We Are Survive!
Menurun Gunung
Syal Merah