SUATU
SORE DI GANG SALAK
Oleh LinaWahyuni
Aku baru saja turun
dari sebuah angkutan paling terkenal di Indonesia, hujan telah menyanderaku
dalam sebuah ruang office sekolah
sore ini. Butuh waktu satu jam untukku berada dalam ruangan ber Ac itu,
mengamati rinai hujan sambil tenggelam dalam percakapan tentang permasalahan
sekolah dan seputar pendidikan bersama rekanku yang baru saja ku kenal sejak
sebulan terakhir ini. Matanya memerah menahan genang air yang tak kuasa menahan
gravitasi bumi, ingin sesekali tetes-tetes itu jatuh, tapi si pemilik bola mata
itu menahannya, ia tak mengizinkan tetesan bening itu berlama-lama di matanya,
ia menghapusnya dengan berusaha menekan-nekan garis-garis pinggir matanya
dengan jari-jarinya. Ia menuturkan satu episode hidupnya menapaki Jakarta
sebagai program usaha mandiri dari ayahnya. Aku sendiri baru satu bulan ini
mengabdikan diriku untuk pendidikan yang sesuai dengan idealismeku, sebuah
pendidikan yang membebaskan bagi anak-anak didiknya.
Rinai hujan mulai reda
berganti tetes-tetes gerimis yang memberi peluang bagiku untuk keluar dan
bergegas pulang. Wajah polos Kaori dan Pancar sudah memenuhi ruang memoriku,
kata-kata polos nan ceria Kaori dan Pancar silih berganti terngiang-ngiang
ditelingaku. Aku terkenang Bu Ani, pasti dia sudah mondar-mandir kesana-kemari
tak sabar untuk pulang ke rumahnya yang tak jauh dari komplekku, sejak sebulan
ini dia bekerja menjaga anak-anakku. Aku tak begitu mengenalnya, dia datang ke
rumah direkomendasikan oleh tetanggaku tiga hari sebelum hari pertamaku
bekerja, kelihatannya ia baik, belakangan hari aku baru tahu bahwa ia pernah
bekerja di Malaysia selama tiga tahun.
Batu-batu kerikil yang
bertebaran di areal parkir sudah basah tersiram hujan, bahkan ada beberapa yang
tergenang. Aku menyusurinya dengan hati-hati, khawatir volume airnya berpindah
ke kakiku yang bersepatu, maklumlah sepatu model balet yang terbuat dari
plastik ini sudah hampir almarhum.
Sebuah angkot berwarna
putih berhenti didepanku setelah aku memberhentikannya dengan melambaikan
tanganku. Aku tenggelam dalam lamunan dan perasaan kesal karena tidak dijemput
Aira, sudah terbayang olehku jalanan Ciputat yang dipenuhi angkot, dan pasti
aku terjebak dalam salah satu angkot untuk beberapa waktu yang lumayan lama
karena sebuah rutinitas yang disebut ‘ngetem’.
Namun, tak kusangka dan
tak kuduga, Ciputat nyaris tanpa tanda-tanda adanya hujan, kering sama sekali,
prakiraan cuaca saat ini sudah harus lebih memperkecil luas area perkiraannya,
tak jarang saat aku keluar komplekku yang hujan deras, ternyata saat sampai di
depan Gang ternyata tidak hujan.
Hari sudah mulai gelap,
saat aku berada di dalam angkot menuju Muncul, seperti yang kubayangkan, pasti
membutuhkan waktu lumayan lama untuk berada di jalanan ini, aku membuka
lembaran buku, rutinitas yang biasa kujalani saat anak angkot, maklumlah kalau
sudah sampai rumah aku tak tega dengan anak-anak jika aku masih harus
berenjoy-enjoy ria sendiri membaca buku tanpa memperhatikan anak-anak, dan tak
jarang mereka meminta dibacakan buku yang sedang kubaca.
Angkot mulai melaju,
bau keringat yang bercampur debu memenuhi seisi kendaraan ini, untunglah angin
sore masuk melalui pintu dan jendela-jendela angkot yang tak ditutup. Paragraf
demi paragraf kulalui dan kujelajahi, membaca buku adalah menemukan sumber
inspirasi baru dan semangat baru dalam kehidupanku, aku hanya seorang ibu rumah
tangga biasa, yang tenggelam dalam rutinitas pekerjaan ibu-ibu rumah tangga
seperti ibu-ibu lainnya, memasak, mencuci, mengurus anak dan beberapa agenda
rumah tangga lain yang biasa dan menjadi siklus serta berputar terus menerus
tanpa ada akhirnya. Beruntung seorang tetanggaku yang instruktur senam
mengajakku fitness dirumahnya,
badanku menjadi terasa lebih segar dan tidak mudah ngantuk.
Aku mulai bekerja saat
ini, aku ingin agar anak-anakku masuk di sekolah ini, aku akan mempercayakan
mereka dalam institusi pendidikan tersebut, yang sesuai dengan idealismeku, aku
tidak mau mereka mengecap sekolah seperti sekolah yang pernah aku alami. Bagiku
itu percuma, membuang-buang waktu dengan menghabiskan masa-masa kegemilangan
mereka untuk duduk terpaku mendengarkan gurunya menjelaskan isi buku, atau
sekedar menyalin buku paket sekolah ke dalam buku tulis mereka, dan
ujung-ujungnya membunuh potensi mereka.
Aku masih menyimpan
rasa kesal karena harus naik angkutan umum sore ini, tapi sudahlah tak ada
gunanya menyimpan kesal berlarut-larut, kalaupun aku dijemput aku tak bisa
menikmati buku yang hari ini kubawa dalam tas kerja ku, menyusuri jalanan Pamulang
dengan angkot sambil berfantasi menjelajahi kalimat-kalimat penuh makna dalam
buku yang kubaca. Angkot sudah sampai di tujuan, sebuah gang bernama gang Salak,
salah satu titik kemacetan di pamulang, maklumlah tanah di daerah sini masih
relatif murah untuk wilayah Tangerang Selatan, banyak orang yang
berbondong-bondong pindah ke sini, terutama sarjana lulusan Universitas Islam
Negeri Jakarta yang berlokasi di Ciputat.
Kebetulan, aku menjadi
penumpang terakhir angkot ini, aku pun turun dan membayar, memberikan dua
lembar uang dua ribuan, aku bergegas pergi dan membiarkan saja para tukang ojek
dengan barisan sepeda motornya, diantaranya ada yang masih baru, ada juga motor-motor
keluaran lama.
Aku mulai berjalan, di
sebelah kiri jalan berderet kios-kios kecil berukuran sekitar 4 x 5 meter yang
sudah disewakan pemiliknya, ada warung padang salero kito yang di sini terkenal murah tapi ma’nyus, disebelahnya dipakai untuk kios terima jahitan, sedangkan
disebelahnya lagi terdapat kios yang menjajakan aneka makanan ringan serba Rp.
2.000 follower, aku pernah membeli
beberapa makanan ringan dari sana, saat dimakan alot semua, pengalamanku yang
cuma sekali itu membuatku jera untuk membeli di sana lagi.
Sebuah pom bensin
berdiri di sebelah kanan jalan, suamiku seringkali ngedumel, pasalnya di pom bensin ini seringkali curang, isi full tank yang biasanya tidak sampai Rp.
200.000 di sini malah sampai Rp. 220.000, “oalah”, saat di telp ke nomor
pengaduan malah nyambungnya ke nomor perusahaan pemilik, “bagaimana bisa
dievaluasi” ujar suamiku geram, bagaimana tidak? Setelah diadukan, suamiku pun
melakukan proses pengecekkan ulang dengan mengisi bensin di sana lagi, tapi
kondisinya masih tetap sama, so… kami
memutuskan kalau tidak kepepet ya kami tidak akan mengisi bensin di tempat ini.
Sepatu karetku menapaki
jalanan gang ini, jalanan terlihat kering tanpa memperlihatkan adanya
tetes-tetes hujan dari awan, kondisinya sama dengan di Ciputat, suasana sudah
mulai remang, mungkin beberapa saat lagi adzan Maghrib akan segera berkumandang,
beberapa meter didepanku, kulihat sebuah angkot sedang menaikkan seorang gadis
berkerudung sopan berwarna merah tua, bajunya berwarna senada, sedangkan roknya
berwarna hitam. Ternyata itu si Bapak sopir angkot yang tadi aku naiki, rupanya
dia ikut belok ke gang ini juga, “Bu… mau kemana ?” katanya.
“Komplek muslim”
jawabku.
“Silahkan naik bu,
kasihan kalau jalan…” ucap si Bapak itu dengan sangat sopan.
Perempuan muda
berjilbab merah tersebut ikut berkomentar, “tapi kita cuma sampai Gang salam
dua bu, mau pulang soalnya”.
“Iya ngga apa-apa” aku
menyanggupi
Angkot pun berhenti di
sebuah gang, aku pun hendak ikut turun karena angkot ini mau pulang, tapi si
Bapak keburu berkomentar “kakak pulang duluan ya kak, Bapak mau nganterin Ibu
ini, kasihan”, Bapak sopir itu berucap dengan sopan sekali kepada si perempuan
berkerudung merah tua, bahkan sangat sopan untuk ukuran seorang sopir angkot,
ia memanggilnya kakak, sehingga aku pun berkesimpulan bahwa mereka mempunyai
relasi Bapak dan anak.
Saat angkot mulai
melaju lagi, aku berkesempatan meluruhkan rasa penasaranku tentang mereka,
“yang tadi itu anak Bapak?”.
“iya bu, Alhamdulillah
habis pulang kuliah, sorenya ngajar jadi asisten dosen”, jawabnya dengan
merendahkan suaranya.
Si Bapak itu pun
bercerita tentang dua orang anaknya, anak yang kedua masih SMP, kehidupan
mereka tentu saja sederhana, dan yang aku salutkan adalah caranya memperlakukan
orang, caranya memperlakukan anaknya, dan caranya berbahasa, sangat santun
untuk ukuran sopir angkot.
Gapura komplekku pun
mulai terlihat, si Bapak itu memutar balik mobil angkotnya, aku merogoh uang
lima ribuan dari kantong tasku, si Bapak menolak “jangan neng” katanya. Aku
berusaha memaksanya, dan dia pun terus menolak, dan akhirnya aku terpaksa untuk
melemparkan uang lima ribuan itu ke bagian belakang.
Pertemuan singkat dengan
mereka menghangatkan hatiku, merubah rasa kesalku yang tidak dijemput dan harus
bermacet-macet ria di dalam angkot, ditambah pula dengan ngetem.
Sebuah hikmah telah aku
ambil dari perjalanan ini, kesederhanaan hidup yang mereka jalani, profesinya
sebagai sopir angkot bukanlah alasan untuk tidak punya tata karma dan sopan
santun terhadap keluarga dan orang lain. Perlakuannya terhadap keluarga
membuahkan hasil yang menurutku luar biasa, cerminan anak yang sholehah, berbakti,
dan juga mulai membuahkan hasil secara akademis.
…
Di belakang hari, Allah
mempertemukanku kembali dengan seorang Kiki, gadis berkerudung merah tua yang
bertemu denganku saat itu, anak dari pak sopir yang ramah itu. Aku bertemu
dengannya saat menjenguk murrabi ku
yang baru saja melahirkan, Ummi Isma namanya, dia memperkenalkanku pada Kiki,
“ini Lin, yang mau membimbing remeja-remaja di komplek kita”.
“Subhanallah” jawabku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar