Rabu, 02 Januari 2013

Suatu Sore di Gang Salak


SUATU SORE DI GANG SALAK
Oleh LinaWahyuni

Aku baru saja turun dari sebuah angkutan paling terkenal di Indonesia, hujan telah menyanderaku dalam sebuah ruang office sekolah sore ini. Butuh waktu satu jam untukku berada dalam ruangan ber Ac itu, mengamati rinai hujan sambil tenggelam dalam percakapan tentang permasalahan sekolah dan seputar pendidikan bersama rekanku yang baru saja ku kenal sejak sebulan terakhir ini. Matanya memerah menahan genang air yang tak kuasa menahan gravitasi bumi, ingin sesekali tetes-tetes itu jatuh, tapi si pemilik bola mata itu menahannya, ia tak mengizinkan tetesan bening itu berlama-lama di matanya, ia menghapusnya dengan berusaha menekan-nekan garis-garis pinggir matanya dengan jari-jarinya. Ia menuturkan satu episode hidupnya menapaki Jakarta sebagai program usaha mandiri dari ayahnya. Aku sendiri baru satu bulan ini mengabdikan diriku untuk pendidikan yang sesuai dengan idealismeku, sebuah pendidikan yang membebaskan bagi anak-anak didiknya.
Rinai hujan mulai reda berganti tetes-tetes gerimis yang memberi peluang bagiku untuk keluar dan bergegas pulang. Wajah polos Kaori dan Pancar sudah memenuhi ruang memoriku, kata-kata polos nan ceria Kaori dan Pancar silih berganti terngiang-ngiang ditelingaku. Aku terkenang Bu Ani, pasti dia sudah mondar-mandir kesana-kemari tak sabar untuk pulang ke rumahnya yang tak jauh dari komplekku, sejak sebulan ini dia bekerja menjaga anak-anakku. Aku tak begitu mengenalnya, dia datang ke rumah direkomendasikan oleh tetanggaku tiga hari sebelum hari pertamaku bekerja, kelihatannya ia baik, belakangan hari aku baru tahu bahwa ia pernah bekerja di Malaysia selama tiga tahun.
Batu-batu kerikil yang bertebaran di areal parkir sudah basah tersiram hujan, bahkan ada beberapa yang tergenang. Aku menyusurinya dengan hati-hati, khawatir volume airnya berpindah ke kakiku yang bersepatu, maklumlah sepatu model balet yang terbuat dari plastik ini sudah hampir almarhum.
Sebuah angkot berwarna putih berhenti didepanku setelah aku memberhentikannya dengan melambaikan tanganku. Aku tenggelam dalam lamunan dan perasaan kesal karena tidak dijemput Aira, sudah terbayang olehku jalanan Ciputat yang dipenuhi angkot, dan pasti aku terjebak dalam salah satu angkot untuk beberapa waktu yang lumayan lama karena sebuah rutinitas yang disebut ‘ngetem’.
Namun, tak kusangka dan tak kuduga, Ciputat nyaris tanpa tanda-tanda adanya hujan, kering sama sekali, prakiraan cuaca saat ini sudah harus lebih memperkecil luas area perkiraannya, tak jarang saat aku keluar komplekku yang hujan deras, ternyata saat sampai di depan Gang ternyata tidak hujan.
Hari sudah mulai gelap, saat aku berada di dalam angkot menuju Muncul, seperti yang kubayangkan, pasti membutuhkan waktu lumayan lama untuk berada di jalanan ini, aku membuka lembaran buku, rutinitas yang biasa kujalani saat anak angkot, maklumlah kalau sudah sampai rumah aku tak tega dengan anak-anak jika aku masih harus berenjoy-enjoy ria sendiri membaca buku tanpa memperhatikan anak-anak, dan tak jarang mereka meminta dibacakan buku yang sedang kubaca.
Angkot mulai melaju, bau keringat yang bercampur debu memenuhi seisi kendaraan ini, untunglah angin sore masuk melalui pintu dan jendela-jendela angkot yang tak ditutup. Paragraf demi paragraf kulalui dan kujelajahi, membaca buku adalah menemukan sumber inspirasi baru dan semangat baru dalam kehidupanku, aku hanya seorang ibu rumah tangga biasa, yang tenggelam dalam rutinitas pekerjaan ibu-ibu rumah tangga seperti ibu-ibu lainnya, memasak, mencuci, mengurus anak dan beberapa agenda rumah tangga lain yang biasa dan menjadi siklus serta berputar terus menerus tanpa ada akhirnya. Beruntung seorang tetanggaku yang instruktur senam mengajakku fitness dirumahnya, badanku menjadi terasa lebih segar dan tidak mudah ngantuk.
Aku mulai bekerja saat ini, aku ingin agar anak-anakku masuk di sekolah ini, aku akan mempercayakan mereka dalam institusi pendidikan tersebut, yang sesuai dengan idealismeku, aku tidak mau mereka mengecap sekolah seperti sekolah yang pernah aku alami. Bagiku itu percuma, membuang-buang waktu dengan menghabiskan masa-masa kegemilangan mereka untuk duduk terpaku mendengarkan gurunya menjelaskan isi buku, atau sekedar menyalin buku paket sekolah ke dalam buku tulis mereka, dan ujung-ujungnya membunuh potensi mereka.
Aku masih menyimpan rasa kesal karena harus naik angkutan umum sore ini, tapi sudahlah tak ada gunanya menyimpan kesal berlarut-larut, kalaupun aku dijemput aku tak bisa menikmati buku yang hari ini kubawa dalam tas kerja ku, menyusuri jalanan Pamulang dengan angkot sambil berfantasi menjelajahi kalimat-kalimat penuh makna dalam buku yang kubaca. Angkot sudah sampai di tujuan, sebuah gang bernama gang Salak, salah satu titik kemacetan di pamulang, maklumlah tanah di daerah sini masih relatif murah untuk wilayah Tangerang Selatan, banyak orang yang berbondong-bondong pindah ke sini, terutama sarjana lulusan Universitas Islam Negeri Jakarta yang berlokasi di Ciputat.
Kebetulan, aku menjadi penumpang terakhir angkot ini, aku pun turun dan membayar, memberikan dua lembar uang dua ribuan, aku bergegas pergi dan membiarkan saja para tukang ojek dengan barisan sepeda motornya, diantaranya ada yang masih baru, ada juga motor-motor keluaran lama.
Aku mulai berjalan, di sebelah kiri jalan berderet kios-kios kecil berukuran sekitar 4 x 5 meter yang sudah disewakan pemiliknya, ada warung padang salero kito yang di sini terkenal murah tapi ma’nyus, disebelahnya dipakai untuk kios terima jahitan, sedangkan disebelahnya lagi terdapat kios yang menjajakan aneka makanan ringan serba Rp. 2.000 follower, aku pernah membeli beberapa makanan ringan dari sana, saat dimakan alot semua, pengalamanku yang cuma sekali itu membuatku jera untuk membeli di sana lagi.
Sebuah pom bensin berdiri di sebelah kanan jalan, suamiku seringkali ngedumel, pasalnya di pom bensin ini seringkali curang, isi full tank yang biasanya tidak sampai Rp. 200.000 di sini malah sampai Rp. 220.000, “oalah”, saat di telp ke nomor pengaduan malah nyambungnya ke nomor perusahaan pemilik, “bagaimana bisa dievaluasi” ujar suamiku geram, bagaimana tidak? Setelah diadukan, suamiku pun melakukan proses pengecekkan ulang dengan mengisi bensin di sana lagi, tapi kondisinya masih tetap sama, so… kami memutuskan kalau tidak kepepet ya kami tidak akan mengisi bensin di tempat ini.
Sepatu karetku menapaki jalanan gang ini, jalanan terlihat kering tanpa memperlihatkan adanya tetes-tetes hujan dari awan, kondisinya sama dengan di Ciputat, suasana sudah mulai remang, mungkin beberapa saat lagi adzan Maghrib akan segera berkumandang, beberapa meter didepanku, kulihat sebuah angkot sedang menaikkan seorang gadis berkerudung sopan berwarna merah tua, bajunya berwarna senada, sedangkan roknya berwarna hitam. Ternyata itu si Bapak sopir angkot yang tadi aku naiki, rupanya dia ikut belok ke gang ini juga, “Bu… mau kemana ?” katanya.
“Komplek muslim” jawabku.
“Silahkan naik bu, kasihan kalau jalan…” ucap si Bapak itu dengan sangat sopan.
Perempuan muda berjilbab merah tersebut ikut berkomentar, “tapi kita cuma sampai Gang salam dua bu, mau pulang soalnya”.
“Iya ngga apa-apa” aku menyanggupi
Angkot pun berhenti di sebuah gang, aku pun hendak ikut turun karena angkot ini mau pulang, tapi si Bapak keburu berkomentar “kakak pulang duluan ya kak, Bapak mau nganterin Ibu ini, kasihan”, Bapak sopir itu berucap dengan sopan sekali kepada si perempuan berkerudung merah tua, bahkan sangat sopan untuk ukuran seorang sopir angkot, ia memanggilnya kakak, sehingga aku pun berkesimpulan bahwa mereka mempunyai relasi Bapak dan anak.
Saat angkot mulai melaju lagi, aku berkesempatan meluruhkan rasa penasaranku tentang mereka, “yang tadi itu anak Bapak?”.
“iya bu, Alhamdulillah habis pulang kuliah, sorenya ngajar jadi asisten dosen”, jawabnya dengan merendahkan suaranya.
Si Bapak itu pun bercerita tentang dua orang anaknya, anak yang kedua masih SMP, kehidupan mereka tentu saja sederhana, dan yang aku salutkan adalah caranya memperlakukan orang, caranya memperlakukan anaknya, dan caranya berbahasa, sangat santun untuk ukuran sopir angkot.
Gapura komplekku pun mulai terlihat, si Bapak itu memutar balik mobil angkotnya, aku merogoh uang lima ribuan dari kantong tasku, si Bapak menolak “jangan neng” katanya. Aku berusaha memaksanya, dan dia pun terus menolak, dan akhirnya aku terpaksa untuk melemparkan uang lima ribuan itu ke bagian belakang.
Pertemuan singkat dengan mereka menghangatkan hatiku, merubah rasa kesalku yang tidak dijemput dan harus bermacet-macet ria di dalam angkot, ditambah pula dengan ngetem.
Sebuah hikmah telah aku ambil dari perjalanan ini, kesederhanaan hidup yang mereka jalani, profesinya sebagai sopir angkot bukanlah alasan untuk tidak punya tata karma dan sopan santun terhadap keluarga dan orang lain. Perlakuannya terhadap keluarga membuahkan hasil yang menurutku luar biasa, cerminan anak yang sholehah, berbakti, dan juga mulai membuahkan hasil secara akademis.
Di belakang hari, Allah mempertemukanku kembali dengan seorang Kiki, gadis berkerudung merah tua yang bertemu denganku saat itu, anak dari pak sopir yang ramah itu. Aku bertemu dengannya saat menjenguk murrabi ku yang baru saja melahirkan, Ummi Isma namanya, dia memperkenalkanku pada Kiki, “ini Lin, yang mau membimbing remeja-remaja di komplek kita”.
“Subhanallah” jawabku. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar